Angkringan, Oase di Tengah Keterasingan Kota

  • Whatsapp
Moehammad Imron Kadir  (Penulis adalah pekerja Humas di Universitas Khairun, Ternate)

Oleh: Moehammad Imron Kadir  (Penulis adalah pekerja Humas di Universitas Khairun, Ternate)

SECARAH etimologis, kata angkringan berasal dari kata dasar angkring dalam bahasa Jawa yang berarti “duduk santai” atau “berjongkok”. Di Ternate, konsep serupa dikenal dengan istilah gerobak warung kecil sederhana yang akrab di pinggiran jalan.

Namun, angkringan tak sekadar menunjuk pada bentuk fisik warung. Ia merepresentasikan suasana, ruang sosial yang akrab, hangat, dan terbuka bagi siapa saja.

Gemerlap pusat kota sering kali menjadi ladang subur bagi ambisi. Barisan gedung memantulkan hasrat, kontras dengan gerobak kayu yang berdiri sederhana. Lampu-lampu terang dan deru kendaraan membentuk lanskap kota modern yang sibuk dan penuh tekanan.

Namun di tengah hiruk-pikuk itu, angkringan tetap bertahan. Ia tak gentar dilindas waktu, menjadi tempat berteduh bagi cerita-cerita yang tak selesai. Di Ternate, kota yang pernah menjadi salah satu poros penting jalur rempah dunia, angkringan tumbuh sebagai simbol kebersahajaan.

Beberapa waktu lalu, saya dihubungi sahabat lama Bung Kempo, rekan satu angkatan. Kini ia menjabat Direktur LSM Kalesang, lembaga yang kami rintis selepas wisuda. Kala itu, kami tak tahu arah hidup. Mendirikan LSM adalah cara kami bertahan, agar tak lekas dicap “pengangguran”. Di sana, kami merawat pertemanan sekaligus harapan.

Waktu berlalu. Beberapa sahabat kini telah menjadi anggota DPRD, ketua KPU, wartawan senior, hingga akademisi. Tapi satu hal tetap sama, tempat kami bertemu dan berbagi cerita masihlah angkringan.

Suatu sore, saya diajak minum kopi di sebuah angkringan di pusat kota. Sempat terlintas, mengapa bukan di kafe modern? Namun saat duduk dan melihat sekeliling, saya tersadar, kami adalah anak-anak FISIP yang tumbuh dari obrolan gerobak, bukan dari sajian mewah atau lampu temaram.

Angkringan adalah ruang sosial yang jujur. Gerobak kayu, tikar lusuh di sisinya, secangkir kopi hitam, dan nasi kuning hangat menjadi saksi percakapan yang mengalir hingga dini hari. Tak ada sekat kelas sosial. Mahasiswa, ojek, wartawan, hingga pedagang keliling duduk sejajar. Tak penting siapa Anda. Yang penting bisa bayar kopi, kalaupun nanti, juga tak apa.

Fenomena ini justru membantah pendapat George Simmel, yang menyebut kehidupan kota membuat manusia terasing dan emosionalnya tumpul akibat derasnya rangsangan eksternal. Sebaliknya, manusia kota kini justru mencari ruang-ruang kecil untuk mendekat, berbagi, dan merasa utuh kembali.

Angkringan adalah ruang perjumpaan. Di atas tikar sederhana, sambil menggenggam cangkir kopi, orang bicara tentang apa saja, mulai dari harga beras, bola, bahkan kisah cinta yang kandas. Tak jarang, kita juga menyaksikan wajah getir dari realitas sosial, perempuan yang harus menggadaikan harga dirinya demi bertahan hidup.

Gerobak atau angkringan mencerminkan semangat guyub, kebersamaan yang lahir dari kerendahan hati. Meski status sosial berubah, sahabat-sahabat yang kini menjabat tak pernah meninggikan diri. Di depan angkringan, semua kembali menjadi manusia biasa, ingin tertawa, bercerita, dan merasa setara.

Kini kota-kota tumbuh dengan ruang makan berkonsep industrial, sistem reservasi digital, dan suasana yang dikurasi. Tapi angkringan tetap pada kodratnya. Ia tidak menjual suasana, ia menciptakan keakraban. Bukan semata tempat makan murah, tapi ritus sosial yang merawat solidaritas, menyuburkan kepercayaan, dan menyambung humor, meski receh, yang menyegarkan jiwa.

Di tengah budaya konsumtif dan keterasingan digital, angkringan adalah oase. Tempat di mana manusia bisa menjadi manusia. Duduk bersama, bercakap jujur, dan merasa tak sendiri.

Pada akhirnya, gerobak mengajarkan kita satu hal, ruang kecil bisa melahirkan jiwa besar. Kesederhanaan, barangkali, adalah jalan yang paling masuk akal untuk tetap waras di tengah kota yang sibuk menciptakan jarak. Wallahu’alam*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *