TOMOHON,HR– Di tengah derasnya arus globalisasi yang kerap menggerus akar kultural suatu bangsa, nama Robby Alfred Armando Loho, S.Kom, M.Kom—lebih dikenal sebagai Armando Loho—muncul sebagai penjaga denyut budaya Minahasa. Melalui lensa kamera, jejak digital, dan napas tradisi lisan, Armando menghadirkan narasi yang utuh tentang warisan leluhur yang tak lekang oleh zaman.
Melalui media sosial, khususnya Facebook: Armando Loho, ia secara konsisten membagikan karya-karya pelestarian budaya Minahasa yang menjangkau khalayak luas, menjadikan platform digital sebagai ruang edukasi dan apresiasi budaya.
Sebagai fotografer, videografer, pendidik, dan budayawan, Armando tidak sekadar mendokumentasikan. Ia membangun ekosistem pelestarian budaya yang hidup—membaur antara estetika, edukasi, dan aksi nyata. Lima simpul utama budaya Minahasa menjadi medan pengabdiannya: Mahzani, Kawasaran, cerita rakyat berbahasa Tombulu, tari Maengket, dan musik tradisi kolintang.
Mahzani, seni tutur tradisional dalam bentuk puisi lisan berirama, diangkatnya dari batas-batas kelupaan. Bersama para maestro, ia mengarsipkan, menerjemahkan, dan mendistribusikannya sebagai bahan ajar yang menghidupkan kembali narasi lisan yang nyaris punah. Dalam Mahzani, tersimpan etika, sejarah, dan perenungan masyarakat Minahasa yang tak tergantikan oleh teks formal.
Tari perang Kawasaran pun tak luput dari sorotan lensanya. Lebih dari sekadar atraksi visual, Kawasaran ditelusurinya dari akar—menyelami filosofi dan ritualnya. Gerakan tegas para penari, warna merah menyala dalam kostum, serta keteguhan identitas leluhur menjadi rangkaian pesan yang diangkat Armando dalam dokumenter berbasis riset dan narasi lokal.
Sementara itu, bahasa Tombulu—salah satu dialek penting di Minahasa—dihidupkan kembali melalui cerita rakyat. Ia merekam suara para tetua, mengolahnya dalam format video berteks, dan menyajikannya sebagai pustaka daring yang ramah bagi generasi muda. Bagi Armando, bahasa adalah nyawa kebudayaan; saat ia lenyap, maka identitas ikut padam.
Tak kalah penting, Tari Maengket, sebagai manifestasi rasa syukur dan solidaritas sosial, menjadi medium ajar yang ia sebarkan lintas komunitas dan generasi. Lewat kerja kolaboratif di Sanggar Kamang Wangko Woloan, Armando mengubah tari tradisi menjadi jembatan dialog antar zaman.
Terakhir, Armando juga turut merekam dan menyebarluaskan kekayaan musik tradisi Minahasa, khususnya kolintang. Instrumen musik pukul ini tidak hanya dikenalnya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai sarana ekspresi kolektif dan pengikat komunitas. Lewat produksi video pertunjukan kolintang dari berbagai generasi, Armando menempatkan alat musik ini kembali dalam kesadaran budaya populer.
“Budaya tidak hanya butuh dikenang. Ia harus diperjuangkan agar tetap relevan, agar tetap menjadi nadi kehidupan,” ujar Armando dalam satu forum kebudayaan.
Apa yang dilakukan Armando bukanlah proyek sesaat. Ia menanam, memupuk, dan membagikan nilai-nilai budaya Minahasa agar tetap tumbuh dalam masyarakat yang kian modern. Konten digital yang ia hasilkan bukan sekadar viral, tapi bernilai historis dan edukatif.
Di pundak Armando Loho, tersimpan harapan agar budaya Minahasa tidak hanya dibaca sebagai catatan masa lalu, tetapi dijadikan pijakan masa depan. Dalam dirinya, budaya menemukan perpanjangan napas.