KEPUTUSAN Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, menunjuk Abubakar Abdullah sebagai Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Kadikbud) definitif merupakan langkah yang patut diapresiasi. Di tengah masih tertinggalnya kualitas pendidikan Maluku Utara dibanding provinsi lain, penunjukan ini menjadi sinyal kuat bahwa Gubernur benar-benar serius menjadikan sektor pendidikan sebagai fondasi utama pembangunan daerah.
Selama dua dekade lebih, dunia pendidikan Maluku Utara belum menunjukkan lompatan berarti dalam hal kualitas. Indeks pembangunan pendidikan, capaian mutu guru, hingga akses terhadap pendidikan masih tertinggal jauh dari rata-rata nasional. Karena itu, keputusan menempatkan figur dengan kapasitas akademik dan pengalaman birokrasi yang mumpuni seperti Abubakar bukanlah keputusan politis, tetapi keputusan strategis.
Abubakar bukan sosok baru dalam dunia pendidikan. Ia memulai karier sebagai dosen dengan latar belakang keilmuan di bidang pendidikan dan tenaga kependidikan, dan kini menyandang gelar doktor di bidang ilmu pendidikan. Pemahaman akademiknya yang kuat membuatnya mampu membaca akar persoalan pendidikan Malut secara lebih tajamโmulai dari rendahnya akses pendidikan, minimnya motivasi belajar, hingga lemahnya kompetensi pedagogik guru.
Selama sembilan bulan menjabat sebagai Pelaksana Tugas Kadikbud, Abubakar telah menunjukkan kinerja yang nyata. Di bawah arah kebijakan Gubernur Sherly dan Wakil Gubernur Sarbin Sehe, ia berhasil menjaga stabilitas layanan pendidikan, bahkan di tengah keterbatasan fiskal dan kondisi geografis yang menantang. Kebijakan pembebasan uang komite yang digagas Gubernur dan dieksekusi secara efektif oleh Abubakar menjadi salah satu langkah paling progresif dalam sejarah pendidikan Maluku Utara.
Kebijakan itu sederhana tapi berdampak besar. Selama ini, uang komite menjadi salah satu penghalang anak-anak dari keluarga tidak mampu untuk tetap bersekolah. Dengan dihapusnya beban itu, banyak keluarga yang kembali berani menyekolahkan anaknya. Menurut data Dapodik per Oktober 2025, masih ada 38.076 anak tidak sekolah (ATS) di Maluku Utara. Angka ini menjadi fokus utama Abubakar, yang segera merancang Gerakan Mengembalikan Anak ke Sekolah (GEMAS Malut).
Program ini tidak berhenti pada kampanye moral semata, tapi dilengkapi langkah konkret seperti pembukaan Sekolah Terbuka dan perluasan pendidikan kesetaraan Paket A, B, dan C. Ia juga memastikan setiap kabupaten/kota memperluas layanan belajar alternatif agar tidak ada anak yang tertinggal.
Lebih jauh, Abubakar memahami bahwa kualitas pendidikan tidak akan meningkat tanpa peningkatan mutu guru. Karenanya, ia menyiapkan program profiling guru dan sekolah bekerja sama dengan Sampoerna Foundation dan sejumlah NGO nasional.
Langkah ini penting untuk memetakan kompetensi aktual guru di lapangan, sehingga pelatihan yang dilakukan benar-benar tepat sasaran. Rencananya, Uji Kompetensi Guru (UKG) akan digelar akhir tahun ini sebagai dasar penentuan program pelatihan tahun 2026.
Yang menarik, Abubakar tidak hanya bekerja di belakang meja. Ia dikenal aktif turun langsung ke lapangan, meninjau sekolah, berdialog dengan guru dan kepala sekolah, serta menghadiri upacara setiap Senin secara bergilir di berbagai daerahโmulai dari Ternate, Tidore, hingga ke wilayah terpencil seperti Kepulauan Sula dan Morotai. Dedikasi seperti ini jarang ditemukan dalam birokrasi pendidikan di daerah lain.
Menurut Prof. Nizam, mantan Dirjen Dikti Kemdikbudristek, โKualitas pendidikan akan meningkat bila kepala dinas dan kepala sekolah menjadi educational leaders, bukan sekadar administrator.โ Sikap Abubakar mencerminkan semangat itu. Ia memimpin dengan pendekatan humanis dan partisipatif, memastikan bahwa kebijakan tidak berhenti di meja rapat tetapi menyentuh ruang-ruang kelas.
Hal senada juga ditegaskan Prof. Fasli Jalal, pakar pendidikan dan mantan Dirjen PAUD-Dikmas. Ia menyebut bahwa tantangan pendidikan di daerah kepulauan seperti Maluku Utara bukan hanya pada infrastruktur, tetapi pada โkomitmen moral untuk menjangkau yang jauh.โ Dalam konteks ini, Abubakar menunjukkan bahwa kepemimpinan di sektor pendidikan bukan hanya tentang administrasi, tetapi tentang empati dan kehadiran.
Langkah-langkah yang sedang dirintis Abubakar menunjukkan pola pembangunan pendidikan yang sistematis: akses diperluas, kualitas diperkuat, dan pemerataan dijaga. Ini sejalan dengan visi besar Gubernur Sherly Tjoanda yang menegaskan bahwa pembangunan Maluku Utara dimulai dari sekolah.
Jika kebijakan ini terus dijaga konsistensinya, Maluku Utara berpeluang keluar dari bayang-bayang keterbelakangan pendidikan yang telah berlangsung selama dua dekade terakhir. Karena sejatinya, kemajuan suatu daerah tidak diukur dari banyaknya gedung dibangun atau tambang dibuka, melainkan dari seberapa banyak anak-anaknya yang bersekolah dan seberapa tinggi kualitas pendidikannya.
Dengan menempatkan Abubakar Abdullah di Dikbud, Gubernur Sherly Tjoanda telah menegaskan bahwa pendidikan bukan lagi sektor pelengkap, melainkan pusat dari seluruh arah pembangunan Maluku Utara.
Dan jika arah ini terus dijaga, bukan mustahil Maluku Utara akhirnya punya generasi emas yang lahir dari sekolah-sekolahnya sendiri.






















