TERNATE, HR – Aktivitas tambang PT Forward Matrics Indonesia (FMI) di Desa Subaim, Kecamatan Subaim diduga ilegal. Pasalnya, FMI melakukan penambangan tersebut tanpa ada izin usaha pertambangan (IUP) dan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL).
Ketua DPD Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) Malut sekaligus Ketua DPP GPM Bidang ESDM dan LHK, Sartono Halek melalui rilis, Sabtu (4/2/2023) mengatakan, aktifitas penambangan illegal di Indonesia kini masih mendapatkan stigma negatif di kalangan masyarakat, karena aktifitas ini bisa dikatakan penambangan illegal.
Menurutnya, pertambangan ilegal ini merupakan kegiatan penambangan atau penggalian sumber daya alam (SDA) yang dilakukan oleh perusahan yang tidak memiliki izin, prosedur operasional, aturan dari pemerintah maupun prinsip penambangan yang baik, hal terlihat dari sejumlah pertambangan Haltim.
Katanya, berdasarkan informasi dari masyarakat, GPM lalu melakukan penelusuran lebih jauh. FMI melakukan penambangan diduga tanpa ada izin usaha pertambangan (IUP) dan Analisis dampak lingkungan (AMDAL). Selanjutnya, PT. FMI diduga memiliki area tambang kurang lebih 30 hektar dan berada dalam area konsesi milik salah satu PT. Kemakmuran Pertiwi Tambang (KPT).
Sambung Tono, keberadaan PT FMI ini memiliki backup yang kuat oleh oknum pejabat di wilayah Haltim guna melancarkan aktifitas penambangan.
Disamping itu, keberadaan PT.FMI dengan luas kurang lebih 30 hektar ini diduga merupakan akal-akalan pejabat daerah dengan memanfaatkan cela, apalagi proses revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sedang berlangsung.
Dikatakannya, perusahan ini terus membandel saat Pemda Kabupaten Haltim maupun Pemprov melakukan pemanggilan dan koordinasi secara baik, namun juga tidak dihiraukan.
“PT FMI yang beroperasi di Subaim diduga kuat tidak memiliki izin apa-apa, bahkan kehadiran perusahan ini ekstra aktif ini tentunya sangat mencemar kelestarian lingkungan, ekologi dan lainnya di bumi Malut tepatnya di Haltim. Pengaliahan kewenangan dari Pemprov ke pusat ini juga dinilai terus memperburuk kondisi pengelolaan pertambangan di daerah,” ucapnya.
Lanjut Sartono, ditinjau dari segi hukum dalam konteks illegal mining yang dilakukan tanpa izin negara, tanpa hak atas tanah, izin penambangan, dan izin eksplorasi ataupun izin transportasi mineral. Penambangan ilegal dapat menimbulkan dampak, yakni kerusakan lingkungan hidup, hilangnya penerimanaan negara, konflik sosisal serta dampak K3. Illegal mining juga dapat berujung pada sanksi pidana sebagaimana bunyi pasal 158 hingga 164 Undang -undang Minerba Pasal 158 (Perubahan UU Minerba).
“Misalnya, mengatur pada pokoknya,bahwa setiap orang yang melakukan penabangan tanpa izin sebagainama di maksud dalam Pasal 35 di pidana dengan kurungan penjara paling lama 5 tahun dan denda sebesar Rp100.000.000.000,00,” ucapnya.
Selain itu, Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Pemuda Marhaenis Malut mendesak Polda Malut segera melakukan penyelidikan aktifitas PT FMI atas indikasi dan dugaan illegal mining yang dilakukan oleh PT FMI di Haltim.
Kemudian, mendesak Polda Malut melakukan pemanggilan terhadap sejumlah pejabat Halmtim untuk dimintai keterangan atas rekomendasi RT/RW atas keberadaan PT.FMI yang diduga tidak memiliki izin baik IUP dan AMDAL.
Dan GPM mendesak gubernur mengeluarkan rekomendasi pencabutan izin operasi PT FMI di Haltim. Dan meminta DPRD Malut segera memanggil PT FMI yang diduga tidak memiliki izin IUP, AMDAL yang saat ini beroperasi di Haltim.(***)