Oleh : Asghar Saleh (Pemerhati Sepakbola Maluku Utara dan Mantan Manager Persiter)
BAMBANG Nurdiansyah berdiri tenang dalam kotak penalti. Kakinya hanya selangkah dari si kulit bundar. Pengalaman dan nama besarnya di level elit sepakbola Indonesia membuat dirinya jumawa. Ini tendangan penalti ke empat yang dimiliki PSB Bogor. Tiga penendang terdahulu sukses bikin gol. Di kubu lawan, empat penendang Persiter Ternate – Rianton Mahmud, Rahmar Rivai, Lukman Muhammad dan Safruddin Rasyid – semuanya sukses menggetarkan jala tim lawan.
Di bawah mistar gawang Persiter, anak muda bertubuh kurus dengan postur menjulang berdiri tenang. Mata elangnya menatap dingin. “Saya menduga Banur akan mengarahkan ke kanan karena Ia berdiri tak jauh dari bola” jelas Hengky Oba. Kiper berusia 18 tahun ini beraksi cepat saat Banur bergerak. Ia setengah terbang menggapai bola yang mengarah ke kanan gawang. Ujung jarinya menepis bola. Si kulit bundar berbelok arah mengenai tiang gawang sebelum bergulir ke luar. Banur – penyerang hebat yang empat tahun sebelumnya sukses bersama Tim Nasional Indonesia meraih medali emas Sea Games Filipina – menatap tak percaya. PSB gagal. Skor 4 – 3 untuk Persiter.
Ketika penyerang Ikram Selang mengambil tendangan ke lima, semesta seperti tersenyum dan berpihak pada anak-anak Ternate. Save krusial Hengky jadi pembeda. Ikram sangat percaya diri dan sukses menipu penjaga gawang PSB. Gol penentu. Dan meledaklah tangis bahagia di kubu Persiter. Sepuluh tahun berjuang di level ketiga sepakbola Indonesia, hari itu sejarah tercipta di stadion Padjajaran Bogor. Skuad asuhan Hadadi Salasa, Soleman Sin dan Rustam Puha promosi ke Divisi I PSSI tahun 1995.
Jalan Persiter promosi ke Divisi I tahun itu bermula dari kompetisi divisi II PSSI zona Maluku di Ambon akhir tahun 1994. Di partai final, Persiter berhadapan dengan tuan rumah PSA Ambon. Persiter kalah lewat gol semata wayang dari Doni Nanlohy. PSA jadi wakil Maluku. Belum sempat meninggalkan mess atlit di bilangan Karang Panjang, kabar baik datang dari Jakarta. PSA diputuskan tidak degradasi musim sebelumnya dari Divisi I sehingga Persiter jadi wakil Maluku untuk berebut tiket putaran nasional. Lawannya adalah Ps. Biak – juara zona Papua.
Pulang ke Ternate, persiapan tim terus dilakukan. Pelatih kepala Hadadi Salasa merombak tim karena berbagai alasan. Delapan pemain dicoret. Salah satunya adalah kiper kawakan Wahidin Husain. Kontraversi mencuat. Wahidin adalah sosok yang tak tergantikan di bawah mistar gawang Persiter dalam 12 tahun terakhir. Karirnya bermula saat memperkuat klub lokal Proskatama Kalumpang yang kerap menjuarai berbagai turnamen sepakbola di Maluku Utara awal tahun 80an.
Saat Persiter melaksanakan seleksi untuk Piala Soeratin tahun 1984, Wahidin bersama beberapa kompatriotnya di Proskatama semisal Arizona Hamadi, Mus Lampah, Idham Krois, Rustam Puha, Titi Tjong dan Soleman Sin ikut terpilih. Dari situ karirnya terus berkembang. Ia penjaga gawang utama Persiter hingga menembus final Soeratin Cup. Sayang langkah mereka gagal mengulang sukses Persiter 1978. Di partai final, tim dengan manager perempuan satu satunya yang pernah dimiliki Persiter – Radina Malawat ini dikalahkan tuan rumah Persikasi Bekasi.
“Din istimewa karena punya kemampuan memotong serangan lawan. Tangkapan bola udaranya lengket. Penempatan posisinya selalu tepat” kenang Malik Zamrun, stopper tangguh yang bertahun-tahun bermain bersama Wahidin. Sosok Wahidin yang kekar dan penampilannya yang garang setiap kali bermain membuat penyerang lawan kadang sudah “jatuh mentalnya” saat berhadapan satu lawan satu. Wahidin sejak Piala Soeratin itu hingga penyisihan Divisi II zona Maluku di tahun 1994 selalu jadi kiper utama Persiter.
Sepuluh tahun hegemoninya tak terbantahkan.
Selain garang di bawah mistar, Wahidin adalah kiper eksentrik. Dia pejaga gawang di Indonesia yang pertama kali menggunakan kostum berwarna-warni dan terkesan gado-gado. Keluar dari pakem yang biasanya berwarna sama. Kostumnya didesain dan dijahit sendiri. Penampilan Wahidin mengingatkan kita pada Jorge Campos Navarrete, kiper asal Meksiko yang membuat heboh desainer dunia saat tampil dengan kostum warna warni yang mencolok di Piala Dunia Perancis tahun 1998.
Siapa pengganti Wahidin?. Hadadi kita tahu secara mengejutkan mempercayakan Hengky Oba. Anak ke delapan dari pasangan Javen Oba dan Martha Sopacuaperu ini pertama kali bermain bola di klub Mars Bastiong sebagai penyerang sayap. Adalah pelatih Hasan “Taremba” Ambarak yang mengubah posisinya jadi penjaga gawang. Hengky mengaku sejak berkarir di Persiter junior yang mengikuti Piala Soeratin, tak ada pelatih kiper yang secara khusus mengasuhnya. “Saya berlatih sendiri, tendang bola ke tembok lalu berusaha menangkap bola yang memantul”.
Usai membawa Persiter promosi ke Divisi I PSSI, Hengky diminati banyak klub. Mulailah Ia bermain di Petrokimia Gresik sebelum ke Persma Manado. Setahun di Manado, Hengky hijrah ke PSPS Pekan Baru. Karir Hengky makin moncer saat bermain bersama PSM Makassar. Jadi runner up Liga, PSM ikut bermain di Liga Champions Asia. Bersama gelandang asal Bastiong, Qadar Usman, keduanya bermain di Jepang, China dan Thailand. Selepas itu, Hengky pindah ke Persik Kediri. Bersama Macan Putih, Ia juara Divisi Utama PSSI tahun 2006. Prestasi yang tak banyak diraih anak-anak Maluku Utara. Lepas dari Kediri, Hengky pindah ke Arema Malang dan pensiun di sana.
Ketika Hengky memilih berkarir di luar Ternate, deputynya saat Divisi II di Bogor naik kelas ke posisi kiper utama. Namanya Muchlis Sahrun. Adik kandung defender Persiter, Ramli Sahrun ini murni produk lokal. Talentanya terbaca pelatih Hadadi Salasa saat bermain untuk klub lokal Tornado Jambula. Usianya baru 17 tahun saat bergabung dengan Persiter. Meski begitu, Muhlis tak pernah bermain untuk Persiter di Piala Soeratin. Selama rentang waktu 12 tahun – 1995 hingga 2007 – Muchlis jadi penjaga gawang utama Persiter. Posisinya nyaris tak tersentuh meski pelatih datang silih berganti.
Konsistensi memilih bermain hanya untuk Persiter berujung manis. Tahun 2005, Ia jadi bagian dari skuad yang sukses promosi ke Divisi Utama PSSI. Kala itu, skuad asuhan Gusnul Yakin menyingkirkan Persibo Bojonegoro di stadion Si Jalak Harupat Soreang Bandung. Terjadi pengulangan sejarah karena sepuluh tahun sebelumnya, kiper yang terkenal dengan gaya terbang sambil menangkap bola ini adalah bagian dari skuad yang promosi ke Divisi I tahun 1995 di Bogor. Gusnul pula yang membawa pelatih kiper ke tim Persiter dan jadi pelatih kiper pertama yang secara profesional melatih Muchlis. Dua tahun setelah itu, Muchlis bersama Persiter yang dilatih Jacksen F. Tiago sukses menembus kasta Indonesia Super Leaque. Sayang kiprah Persiter terhenti karena larangan menggunakan APBD. Ia sempat bermain untuk Perseman Manokwari tapi tak lama di sana.
Kepergian Hengky ternyata tak hanya membuat Persiter kehilangan penjaga gawang utama. Klub lokal Bastiong Putera juga mengalami masalah. Namun Hengky ternyata sudah siapkan penerus. Ia mengajak Mochtar Ade yang saat itu bekerja sebagai security di dealer Toyota Bastiong untuk berlatih sebagai kiper. “Pelatih kiper yang paling berpengaruh dalam karir saya adalah Hengky Oba. Dia yang melatih dasar-dasar untuk jadi kiper. Dia membesarkan saya hingga jadi kiper Persiter”. Begitu pengakuan Mochtar. Ia secara terbuka juga mengidolai Hengky yang membawanya masuk ke skuad Persiter untuk Soeratin tahun 1992.
Karir Mochtar terus meningkat. Ia jadi kiper utama Persiter tahun 2001 hingga 2004. Bersama skuad Persiter tahun 2003, Mochtar sukses menjuarai Piala Mangindaan di Manado. Dalam partai final di stadion Klabat, Mochtar sukses menepis tendangan penalty Arifin Adrian dan Rodrygo Araya. Persibom kalah. Mochtar terpilih jadi pemain terbaik di turnamen itu. Penampilan mengesankan di partai final itu membuat Persibom kepincut. Ia lalu bergabung bersama Persibom Bolaang Mangondow hingga tahun 2007. Setelah itu, Mochtar sempat memperkuat Persma Manado dan Persigo Gorontalo sebelum hijrah ke PKT Bontang. Karir bolanya kemudian berpindah ke tanah Jawa. Mochtar sempat bermain untuk Gresik United dan Arema IPL.
Regenerasi kiper di tubuh Persiter terus berulang dengan proses yang nyaris sama. Semacam déjà vu. Banyak sekali kiper yang bersaing untuk merebut tempat utama. Antriannya panjang. Ketika Tamrin Ismail jadi kiper utama Persiter tahun 1978, kondisinya persaingannya sama. Hanya yang terbaik yang terpilih. Tamrin menurut saya adalah kiper tebaik yang dimiliki Persiter Ternate. Bersama skuad asuhan Umar “Kao” Alting. Ia sukses membawa Persiter jadi juara Piala Soeratin tahun 1978. Prestasi tertinggi di level junior yang tak tertandingi hingga saat ini. Di final, Persiter mengalahkan Ps. Bangka lewat gol tunggal Ud Mahmud.
Sebelumnya, Tamrin tampil gemilang saat Persiter mengalahkan tuan rumah Persija Jakarta dengan skor 3-1 dalam partai semifinal di stadion Menteng. “Ia kiper terbaik, penampilannya sangat tenang. Ia selalu memberi rasa aman untuk lini belakang. Tam juga menghindari kontak fisik dengan pemain lawan. Ia berbeda dengan Hadi yang lebih agresif jika duel udara atau satu lawan satu” Kata Sumitro Chalil, palang pintu Persiter saat Soeratin tahun 1976.
Hadi yang dimaksud adalah Hadi A. Rahman. Kiper ini yang membuat Persija Jakarta – juara Soeratin Cup tahun 1966, 1967 dan 1970 – tertunduk malu di Banyuwangi saat putaran nasional Piala Soeratin tahun 1976. Save Hadi membantu Persiter menang 2-1 kala itu lewat dua gol Yahya Alhadad. Saat Hadi masih jadi nomor satu, Tamrin sudah bergabung dan jadi kiper cadangan. Dua tahun kemudian saat Persiter kembali ke tanah Jawa untuk berebut Piala Soeratin, Tamrin – kiper asal klub Ternate Putera naik kelas jadi kiper utama. Usai membawa Persiter juara, Tamrin memilih menetap dan bekerja di Bogor.
Siapa suksesor Tamrin?. Ia ternyata telah menyiapkan satu anak muda untuk jadi pengganti. Adalah Majid Abdul Muthalib yang dipilih. “Tamrin yang mengajak saja latihan kiper pertama kali di Salero. Saya, Suaib Syamsudin dan Khalik latihan dengan memakai celana boven dan kemeja” kenang Majid. Majid konsisten sebagai kiper meski sebelumnya bermain sebagai penyerang sayap. Suaib dan Khalik kita tahu memilih jadi musisi.
Karir Majid bersama Persiter bermula bulan Oktober 1978. Ketika itu Persiter kedatangan PSM Makassar. Tak ada kiper utama karena Tamrin sudah berpindah ke Bogor. Majid yang saat itu masih kelas tiga SMEP Ternate diminta jadi kiper Persiter. ”Saya gugup luar biasa karena bermain di Gelora. Lawannya PSM. Sepanjang babak pertama saya diteror penonton karena bermain jelek. Yang paling saya ingat adalah teriakan dari Ibu Hawa”, kenang Majid.
Di babak kedua, penampilan Majid membaik. Ia bermain luar biasa mematahkan serangan PSM. Sejak penampilan di Gelora Kie Raha sore itu, Majid jadi nomor satu di bawah mistar gawang Persiter. Ia berperan besar mengantar Persiter hingga ke partai final Soeratin Cup tahun 1980 di Jakarta. Sayang Persiter gagal mengulang sukses dua tahun sebelumnya karena dikalahkan PSMS Medan yang diperkuat penyerang Ricky Yakob dan kiper Eddy Harto. Kegagalan itu membuat Majid jadi sumber bencana. Ia dituduh menerima suap. Tuduhan itu dibantah saat saya menemuinya di kediamannya yang asri di bilangan Soa Puncak – Ternate.
Usia era Kiper Majid bersama Persiter Soeratin, muncul nama Usmansyah saat Persiter bermain untuk penyisihan Piala Soeratin tahun 1982. Persiter kalah dari Persis Soasiu dalam perebutan juara zona Maluku. Usmansyah kemudian memilih berkarir di luar Ternate. Ia bermain untuk banyak klub Galatama sebelum bergabung dengan Persija Jakarta bersama Kamaruddin Betay, Adityo Darmadi dan beberapa bintang Macan Kemayoran lainnya. Persiter juga melahirkan Iswan Karim. Nama ini layak disimpan dalam memori kolektif penggemar bola di Maluku Utara karena prestasi Iswan terbilang mewah. Usai memperkuat tim Pra PON Maluku Utara di Jayapura, Iswan bermain di Persmin Minahasa dan Persibom.
Ia kemudian pindah ke Persitara Jakarta Utara tahun 2007 sebelum direkrut Persija Jakarta tahun 2008. Ia jadi kiper kedua asal Ternate yang bermain di Persija setelah Usmansyah. Puncak karir Iswan terjadi saat mempekuat Arema Malang. Ia juara Indoensia Super Leaque tahun 2010 bersama Arema. Pencapaian personal yang sulit ditandingi. Levelnya sama dengan prestasi Hengky saat membawa Persik jadi juara Divisi Utama PSSI tahun 2006. Iswan juga jadi kiper utama Arema saat bermain di Piala Champions Asia.
Di luar beberapa nama yang saya tuliskan ini, masih banyak kiper hebat yang dimiliki Persiter Ternate. Mereka datang dan pergi dalam siklus persaingan yang tak mudah. Epos kiper-kiper Persiter dalam skala yang lebih mendunia sedikit mirip dengan sejarah sepakbola Jerman. Pemilik empat gelar juara Piala Dunia dan tiga Piala Eropa secara tim kadang naik turun di prestasi internasional. Namun ada satu konsistensi mereka. Selalu ada kiper hebat. Majalah “Deutsche Welle” menyebut kemampuan itu mirip Brazil yang selalu melahirkan pemain hebat di posisi gelandang dan penyerang.
Awal tahun 70an ketika Bayern Muenchen menjadi raja Eropa, timnas Jerman Barat mendapat kiper paling sukses dalam sejarah negara itu. Josef Dieter “Sepp” Meier berhasil membawa Jerman Barat juara Eropa tahun 1972 dan meraih Piala Dunia untuk kedua kalinya di tahun 1974. Setelah pensiun kiprah Meier tercatat sebagai mentor yang mewariskan kehebatannya kepada Oliver Kahn.
Tahun 1990 saat Jerman memenangi Piala Dunia ketiga dengan menyingkirkan Argentina di partai final, dunia mencatat nama Bodo Ilgner. Manuel neuer meneruskan tradisi kiper hebat saat membawa Jerman juara dunia di Brazil tahun 2014. Neuer disebut sebagai penjaga gawang modern dengan skill mumpuni. Reading the game-nya berkelas, Ia bisa jadi sweeper sekaligus orang pertama yang mem-build up serangan Der Panzer.
Kita juga wajib mengingat kiprah Harald Schumacher yang membawa Jerman barat juara Piala Eropa tahun 1980. Ia juga bermain di dua edisi Piala Dunia setelah itu. Tahun 1982, Jerman kalah dari Italia di final dan empat tahun setelahnya, Diego Armando Maradona dkk membuat Schumacher mengahiri karir gemilangnya tanpa Piala Dunia. Ada juga Hans Tilkowski yang jadi saksi hidup bagaimana gol kontraversial dari Geoff Hurst di final Piala Dunia tahun 1966 membuat Jerman Barat kalah dari tuan rumah Inggris.
Di Jepang dan Korea tahun 2002, Oliver Kahn membawa Jerman ke final sebelum takluk dari Brazil. Kahn jadi kiper satu satunya yang terpilih sebagai pemain terbaik turnamen. Jerman juga punya Andreas Koepke yang membawa negaranya juara Piala Eropa tahun 1996. Di luar itu, kita juga tak bisa melupakan nama Hans Jorg Butt, Jens Lehman, Raimond Aumann hingga Marc Andre Ter Stegen dan Bernd Leno. Ketatnya persaingan membuat kiper dengan talenta hebat kadang jadi cadangan selama bertahun-tahun.
Transformasi posisi kiper terbilang unik. Dulu mereka berlatih sendirian, tak punya sarung tangan dan cenderung jadi “orang yang tidak penting” sebagaimana kata Neur : Di masa lalu kiper bahkan bukan bagian dari tim, mereka punya kamar ganti sendiri dan tak berbicara dengan pemain lain. Mereka adalah prajurit yang sendirian. Saat ini dan besok lusa, kiper adalah bagian dari masa depan sepakbola secara universal yang lahir dari kompetisi yang rutin dan mengharamkan diskriminasi.