HALSEL,HR– Dari Halmahera Utara, Halmahera Timur, Halmahera Tengah hingga Pulau Obi Halmahera Selatan, ada jejak konflik sosial dan kerusakan lingkungan di wilayah lingkar pertambangan.
“Di mana ada tambang, di situ ada penderitaan warga. Di mana ada tambang, di situ ada kerusakan lingkungan, tidak akan bisa berdampingan,” kata koordinator Aksi Pergerakan Aktivis Demokrasi (PaRaDe) Halmahera Selatan Tarjo Hasan, Rabu (16/11/22) saat mengelar aksi demo didepan kantor PT Harita perwakilan Bacan.
Dalam aksinya Tarjo mengatakan, lingkungan “dirusak” dan masyarakat “dibungkam” paksa demi terlaksananya komoditi prioritas yang menjadi tulang punggung pemasukan Negara. Ia bilang Pengelolaan sumber daya alam harusnya memperhatikan kepentingan lingkungan dan kepentingan manusia, dalam UUD 1945 dalam Pasal 28 H ayat (1) menyatakan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan, nyatanya di Pulau Obi Hal itu tidak dirasakan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
PaRaDe menilai jika manfaat tambang bagi kehidupan, peran kekayaan alam itu bagi perekonomian Indonesia dan upaya pemerintah melakukan penguatanregulasi ?Hal itu terlalu Naif kata Terjo jika kegiatan pertambangan tidak mengubah lingkungan hidup. Yang dipertahankan adalah fungsi ekologisnya, kalau misalnya bukit jadi rata selama fungsi ekologisnya tidak rusak, masalahnya apa di situ?,” tanya Tarjo saat berorasi.
Rakyat Pulau Obi hidup dalam bayang-bayang kehancuran ekologi. Hutan sebagai kesatuan ekosistem kehidupan dan dipercaya sebagai perisai bencana ekologis telah gundul menyisakan kubangan, pemicu kehilangan hutan di Pulau Obi Adalah tambang. Di sisi lain kehancuran di sektor darat erat hubungannya dengan laut, yang mana terancam limbah tambang hal ini tentu membuat nelayan semakin sulit.
“Masyarakat di Obi terus menyaksikan setiap waktu pohon-pohon ditumbangkan dan tanahnya dikeruk. Tidak luput dari itu Pulau Obi pohon tumbang tanpa jeda mengikuti pengerukan tanah yang begitu massif dilakukan oleh korporasi nikel,” lanjutnya.
Untuk itu, secara kelembagaan PaRaDe Halsel meminta kepada pihak PT.Harita untuk bertanggung jawab atas dugaan kerusakan tercemarnya ikan di laut akibat logam berat akibat dari penambangan nikel (baca hasil penelitian Muhammad Aris ketua peneliti pusat Studi Aquakultur Unkhair.(red)