PEMILU 2024, TANPA POLITIK IDENTITAS ?

  • Whatsapp
Kota Ternate
Munawar Wahid (Anggota Bawaslu Kabupaten Halmahera Tengah)

Oleh : Munawar Wahid (Anggota Bawaslu Kabupaten Halmahera Tengah)

POLITIK sebagaimana khayalak mengucapkan, adalah sebuah siasat, perang strategi, kebijakan juga kepentingan. Politik menjadi jalan panjang setiap manusia untuk meraih dan mempertahankan kepentingan kekuasaannya, baik secara individu maupun kelompok. Lalu bagaimana politik bekerja ? setiap orang memiliki cara menafsirkan politik dan kekuasaan saat merebut atau mempertahakan eksistensinya.

Menurut Max Weber, politik (kekuasaan) adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Max Weber melihat negara dari sudut pandang yuridis formal yang statis. Negara dianggap memiliki hak memonopoli kekuasaan fisik yang utama. Selanjutnya Robson mengemukakan politik (kelembagaan) adalah kegiatan mencari dan mempertahankan kekuasaan ataupun menentang pelaksanaan kekuasaan.

Kekuasaan sendiri adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain, baik pikiran maupun perbuatan agar orang tersebut berpikir dan bertindak sesuai dengan orang yang mempengaruhi.

Beberapa peran politik dikemas dalam berbagai isu yang dianggap strategis dan aksinya cenderung menuai reaksi dipihak lawan tanding. Para kompetitor gencar mengolah strategi guna menarik simpati orang lain. Visi dan Misi dipoles sebagai pikiran untuk mencapai tujuan politik. Pada hakikatnya politik dan kekuasaan membutuhkan simpati rakyat yang itu diperlukan rasionalitas sebagai pengejawantahan legitimasi kekuasaan.

Menurut Robert A. Dahl, pada sebuah Negara demokasi tantanganya adalah apakah dan bagaimana praktik dan lembaga demokratis dapat diperkuat atau sebagaimana dikemukakan oleh beberapa pakar politik, dikonsolidasikan sehingga dapat bertahan terhadap ujian waktu, konflik politik dan krisis.

Pemilu Dan Demokrasi
Pemilihan Umum (Pemilu) tidak lahir tanpa tujuan tetapi untuk memilih para wakil rakyat dalam rangka mewujudkan suatu pemerintahan yang dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat yang kita kenal sebagai demokrasi.

Pemilu yang merupakan hajatan konstitusi Negara menjadi titik klimaks dalam merotasi kepemimpinan nasional. Di Indonesia,melalui hajatan pemilu itu akan terlahir pemimpin nasional pilihan rakyat seperti Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.

Kita mengenal beberapa fase demokrasi diantaranya ‘demokrasi terpimpin’ yang dalam pemaknaanya merupakan sebuah sistim yang disenyawakan dengan Sila Keempat Pancasila “Dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

Meski dalam kenyataan demokrasi terpimpin bergeser menjadi dipimpin oleh Presiden/pemimpin Besar Revolusi sejak dibacakannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Kemudian, di era Orde Baru masa kepemimpinan Presiden Soeharto, kita mengenal penyebutan ‘Demkrasi Pancasila’ yang seolah olah ada klaim demokrasi paling Pancasila ada dimasa itu. Demokrasi Pancasila dianggap menjadi sebuah alasan menghakimi kekurangan-kekurangan atau ketidaksempurnaan sistim demokrasi sebelumnya yang dianggap menyimpang. Pada akhirnya berbagai demokrasi Pancasila mengalami distorsi, baik dalam retorika dan praktiknya.

Politik Identitas Dan Ancaman Sosial

Seorang politisi tentu memiliki cara pandang yang berbeda dengan politisi lainya dalam kepentingan yang diperjuangakan. Pada konteks ini, Visi dan Misi digambarkan sebagai satu cita-cita politik dalam memenuhi ruang – ruang diskursus. Karena itu, paradigma yang dibangun oleh orang-orang atau kelompok politik adalah upaya meyakinkan rakyat dengan sadar dan bertanggung jawab.

Perang identitas hampir terjadi disetiap level kompetisi politik. Mengandalkan etnis, suku, budaya, agama atau yang lainya untuk tujuan kekuasaan sebagai bentuk perlawanan atau alat perjuangan adalah tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun. Identitas seseorang dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim dengan tujuan untuk mendapatkan simpati dari orang-orang yang merasa ‘sama’ dalam identitasnya.

Di Maluku Utara ‘konsolidasi identitas’ menunjukan basis dimana seseorang mencoba memperkenalkan dirinya berdasarkan ‘KTP’. Ragam etnis di Maluku Utara membuat setiap orang yang berkepentingan pada kekuasaan memanfaatkan posisinya sebagai dan atas nama identitas tertentu.

Meski pada hal lain, Politik identitas hadir dalam bentuk narasi resisten kelompok terpinggirkan akibat kegagalan narasi arus utama mengakomodir kepentingan minoritas; secara positif, politik identitas menghadirkan wahana mediasi penyuaraan aspirasi bagi yang tertindas. Fitur dikotomi oposisional menjadi fondasi utama yang membedakan perasaan kolektivitas ke-kita-an terhadap yang lain. Tetapi kenyataannya, pada tataran individual pada era modernisasi yang serba mekanik, muncul ‘kegagapan’ untuk memahami struktur masyarakat yang plural, maka intoleransi semakin meningkat. Sebagai akibat, terjadi ketidaksesuaian imajinasi sosial tentang kehidupan sehari-hari manusia modern dan interaksinya dengan masyarakat umum.

Perang jargon sebagai upaya menunjukkan eksistensi primordialistik seperti istilah ‘Anak Kampong’, di pusaran politik lokal dan kasus-kasus lain yang menyeret sukuisme dalam sirkulasi politik elit di Maluku Utara yang sering terdengar contohnya seperti Togale, Fagogoru, Makayoa, atau yang sering terdengar di media masa penyebutan ‘Cebong, Kadrun dan Kampret’ pada giliranya membuat kaum minoritas atau yang dianggap kaum Pendatang tidak mampu menunjukkan eksistensinya.

Benturan kepentingan yang kompleks, politik identitas ikut terbawa-bawa menjembatani narasi-narasi politik. Dalam ruang lingkup multikulturalisme, khususnya di Indonesia yang masih menjadi negara berkembang, praktek politik identitas ini sangat rentan. Bayangkan dari ratusan suku, kepercayaan, dan budaya, berapa banyak potensi pengorganisasian politik identitas ini? lalu siapa yang diuntungkan? Adalah mereka yang mendulang suara dari kelompok masyarakat terbanyak yang biasanya tidak begitu paham soal politik atau justru rela menggadaikan semua kepentingannya demi isu politik yang mencuat diantara komunits mereka.

Disaat politik identitas mewarnai setiap kompetisi politik di bangsa ini, maka diwaktu yang sama pula kaum-kaum minoritas akan merasa termarginalkan dalam mengusung kepentinganya. Benturan kepentingan yang berujung pada konflik sosial yang sudah tentu mengubur harapan kita sebagai bangsa yang modern dan demokratis.

Mengutuk Narasi Politik Identitas
Desintegritas bangsa dapat dipicu oleh hal-hal yang bernuansa suku, agama, dan ras. Karenanya untuk menjembatani semua, kita membutuhkan manusia-manusia yang berjiwa negarawan untuk merawat ke-bhineka-an Indonesia.

Pendidikan politik yang baik, menghindari berita bohong (Hoax), melarang ujaran kebencian, dan menolak politisasi SARA adalah cara terbaik dalam menerangi Indonesia untuk terus hidup dan merdeka disetiap jengkal tanah pertiwi. Sudah sepantasnya semua anak bangsa menyatakan tidak pada politik identitas yang hanya memperburuk wajah Indonesia yang selama ini hidup rukun diatas ragam budaya, agama dan suku.

Politik identitas adalah momok yang menakutkan bagi setiap generasi Indonesia yang harus sama-sama kita kutuk. Kita bisa membayangkan bagaimana sejarah menceritakan betapa hebatnya para pejuang dan rakyat Indonesia dahulu yang bukan karena satu suku dan satu agama mereka berjuang mengusir penjajah dan mempertahankan Merah Putih untuk terus mengangkasa. Kita berbangga bahwa dari semua perbedaan yang dimiliki Indonesia maka lahirlah Persatuan.

Meski demikian kita menyadari bahwa Indonesia dibebrapa momentum politik terakhir senantiasa diwarnai politik Identitas. Namun kita juga harus percaya dari setiap fase dan waktu, akan ada kebaikan-kebaikan, kecerdasan orang-orang Indonesia dan kesadaran semua pihak untuk menuntun perbedaan menjadi Rahmatan bagi Nusantara.
Dalam buku ‘Politik Identitas dan Masa Depan Prularisme Kita “ Buya Syafii Maarif menguraikan bahwa Politik identitas dalam bentuk apa pun tidak akan membahayakan keutuhan bangsa dan negara ini di masa depan, selama cita-cita para pendiri bangsa tentang persatuan dan integrasi nasional, semangat Sumpah Pemuda yang telah melebur sentimen kesukuan, dan Pancasila sebagai dasar filosofi negara tidak dibiarkan tergantung di awang-awang, tetapi dihayati dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Semoga !

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *