TERNATE, HR – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Maluku Utara melakukan aksi kampanye urban dalam rangka memperingati hari Bumi dengan mengangkat tema “Oligarki Merusak Bumi” dari konsep besarnya ialah krisis iklim dan perampasan ruang hidup atau Wilayah Kelola Rakyat (WKR), beberapa tuntutan penting soal keberlanjutan hidup segala sub sistem salah satunya adalah “Selamatkan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang ada di wilayah Moloku Kie Raha”.
Manager Kampanye WALHI Malut, Wahida A. Abd Rahim mengatakan, Provinsi Malut merupakan wilayah dengan beragam pulau, terdapat 805 pulau-pulau kecil maupun besar, 716 yang belum berpenghuni serta sisanya sudah ada penduduk (BPS Maluku Utara, 2019). Dengan luas wilayah 145.801.1 km, wilayah perairan seluas 78.06 persen, sedang luas wilayah daratan sebesar 21.94 persen. Ini berarti luas lautan lebih besar dari pada luas daratan.
Selain itu, kata dia, wilayah yang berbentuk huruf K lebih kecil dari Sulawesi ini juga berada di jalur Wallacea dan CTI, termasuk juga daerah MGP (Merapi, Pertemuan jalur gempa lingkar pasifik, dan pulau-pulau kecil).
Lanjutnya, Malut rentan mengalami dampak dari krisis ikllim berupa hilangnya pulau-pulau kecil.
“Misalnya, pulau Pagama di Mangoli Kabupaten Sula, atau Pulau Tulang di Kabupaten Halmahera Utara yang mulai terkisis, terjadi juga perubahan pola cuaca, suhu, dan masalah lainnya, yang mengakibatkan pada pendapatan ekonomi warga menurun. Sedangkan sebagian besar penghuninya adalah warga petani dan nelayan, mereka sangat bergantung pada alam, bagi orang Malut alam adalah “sumber penghidupan dan kehidupan”,” ucapnya.
Wahida menuturkan, ironisnya Malut kini menjadi dapur bagi oligari perusak bumi, apalagi saat ini arah kompas negara ditujukan ke negeri para raja dengan proyek strategis nasional 2020-2024 lebih ke aktivitas investasi, sedang dalam sejarah pertambangan tidak ada investasi yang tak merusak, sebut saja Weda Bay Nikel dan Kepulauan Obi yang menjadi kawasan industri di dalam proyek strategis nasional. Bahkan, tercatat ada sekitar 127 IUP yang bercokol di Maluku Utara.
Hal ini akan berdampak secara ekologis maupun ekonomi warga. Kalau satu saja ekosisitem rusak, maka akan mempengaruhi ekosistem lainnya. Terlepas dari masalah ekologis, masalah kemanusiaan kian mencekik, dengan tidak meratanya hak-hak buruh di wilayah pertambangan, kekerasan seksual yang semakin meningkat.
Dikatakannya, belum lagi, tanaman monokultur sawit yang berada di daratan Gane, Kabupaten Halmahera Selatan, yakni PT. GMM anak perusahan dari Korindo Grup, yang membabat habis hutan Gane, dan digantikan dengan sawit, tentu dampak yang dirasakan warga amat besar, mulai dari berkurangnya asupan aliran sungai, serangan hama terhadap tanaman warga, banjir, laut tercemar karena limbah perusahan, dan lain sebagainya. Warga semakin kehilangan ruang hidup mereka karena kepentingan korporat.
Meski begitu, Wahida menyatakan, alam yang seharusnya milik bersama, bisa menjadi praktik sosial “kolektif’’dalam mengatur sumber daya alam secara arif dan lestari bukan oleh negara atau swasta, tapi oleh komunitas warga asli atau masyarakat adat atau lokal setempat. Penting untuk memastikan ruang hidup warga terjaga, karena relasi mereka terhadap hutan dan laut sangat erat. Akan tetapi kebijakan investasi justru berdampak buruk terhadap ruang kelola warga, sehingga penting untuk kita mendorong Ekonomi Warga yang lebih kerkeadilan. WALHI secara nasional juga mendorong ekonomi tanding, untuk melawan sistem ekonomi politik yang dijalankan oleh negara saat ini , yakni Ekonomi Nusantara, hal ini berdasarkan dari praktik ekonomi lokal warga yang memang masig dijalankan dalam beberapa wilayah.(nty)