UU Perampasan Aset & Formulasi Kerugian Lingkungan Mendesak

  • Whatsapp
Dr. Muhammad Aras Prabowo, M.Ak, Pengamat Ekonomi UNUSIA

Jakarta,HR-Kejaksaan Agung (Kejagung) kemarin menyerahkan uang hasil rampasan pengganti kerugian negara dan denda administratif penyalahgunaan kawasan hutan senilai total Rp6,6 triliun kepada negara. Dari jumlah tersebut, Rp4,2 triliun berasal dari uang sitaan perkara korupsi ekspor CPO (Crude Palm Oil) dan impor gula, sementara sisanya Rp2,4 triliun merupakan denda terhadap 20 perusahaan sawit dan satu tambang nikel karena pelanggaran izin kehutanan.

Menurut Dr. Muhammad Aras Prabowo, M.Ak, Pengamat Ekonomi UNUSIA meskipun nominal ini impresif, pengejaran pemulihan kerugian negara masih jauh dari tuntas. Perlu dicatat bahwa angka penyerahan tersebut hanya mencakup kerugian finansial langsung, sedangkan kerusakan ekologis dan sosial akibat praktik korupsi dan perusakan hutan belum dihitung secara sistematis.

“Kerugian lingkungan hidup adalah komponen esensial kerugian negara yang selama ini terabaikan. Padahal, UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Permen LH No.7/2014 telah memberikan kerangka definisi untuk menghitung kerusakan lingkungan, Dr. Muhammad Aras Prabowo, M.Ak, Pengamat Ekonomi UNUSIA. 24/12/2025.

“Dalam praktik penuntutan pidana, sayangnya belum ada rumusan baku maupun metodologi terstandar untuk mengevaluasi kerusakan ekologis sebagai angka kerugian negara. Sebagai ilustrasi, dalam kasus alih fungsi hutan di Langkat, saksi ahli menghitung kerugian negara sebesar Rp787 miliar sebagai biaya pemulihan ekosistem selama 100 tahun, tegas Dr. Muhammad Aras Prabowo, M.Ak, Pengamat Ekonomi UNUSIA.

Prof. Basuki Wasis menjelaskan bahwa kerusakan tersebut menimbulkan kerugian ekonomi dan kerusakan ekologis yang secara prinsip semestinya diperlakukan sebagai kerugian negara.

“Kondisi ini menunjukkan perlunya instrumen akuntansi lingkungan yang baku – misalnya penghitungan moneter dampak ekologis – agar nilai kerusakan alam tercatat dalam perhitungan kerugian negara. Tanpa instrumen akuntansi lingkungan seperti itu, dampak jangka panjang degradasi ekosistem tidak tercermin dalam tuntutan hukum, sehingga pemulihan dan pencegahan kerusakan menjadi lemah”, terang Dr. Muhammad Aras Prabowo, M.Ak, Pengamat Ekonomi UNUSIA.

Tambah Dr. Aras bahwa ketiadaan Undang-Undang Perampasan Aset yang komprehensif semakin melemahkan upaya pemulihan aset negara. Instrumen hukum ini krusial untuk memastikan aset hasil tindak pidana dapat disita dan dikembalikan ke kas negara, termasuk aset tak berwujud yang hilang akibat kerusakan lingkungan.

Presiden Prabowo Subianto bahkan menegaskan dukungannya terhadap RUU Perampasan Aset sebagai bagian dari agenda pemberantasan korupsi, namun hingga kini DPR RI belum mengesahkan UU tersebut. Indonesia Corruption Watch mencatat bahwa RUU ini sudah berulang kali masuk program legislasi sejak 2023 namun belum digulirkan. Sikap berulang kali namun belum diimplementasikan ini menunjukkan political will yang perlu diperkuat.

“Penegakan hukum yang efektif menuntut sinergi antara akuntansi lingkungan dan kebijakan tegas. Dengan instrumen akuntansi lingkungan yang terstandarisasi, kerusakan ekologis dapat dinilai secara ilmiah dalam angka kerugian negara”, beber Dr. Aras.

“Dukungan UU Perampasan Aset yang kuat akan memperkuat efek jera, memastikan koruptor dan perusak alam bertanggung jawab penuh secara finansial. Inisiatif semacam ini juga memerlukan political will nyata dari pemerintah dan penegak hukum agar norma hukum tidak sekadar simbol, melainkan benar-benar melindungi kekayaan alam dan masyarakat. Pada akhirnya, seluruh kerugian negara—termasuk degradasi lingkungan—harus diakui dan dipulihkan demi menegakkan keadilan dan kelestarian lingkungan”, tutup Akademisi UNUSIA.(red)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *