Saiful Djanwar Respon Status Sengketa Lahan Antara TNI-AU dan Masyarakat Lingkar Bandara

  • Whatsapp
Pratisi Hukum Saiful Djanwar

MOROTAI,HR – Terkait klaim TNI Angkatan Udara atas lahan 1,125 Hektar di Daruba, Kecamatan Morotai Selatan, Kabupaten Pulau Morotai, bukan sekadar sengketa pertanahan. Namun, hal itu adalah sinyal bahaya bagi tegaknya supremasi hukum dan eksistensi pemerintahan sipil di daerah.

“Dilansir dari beberapa media terkait pernyataan anggota DPRD Morotai, Zainal Karim, yang menyebut bahwa klaim ini sama artinya dengan “Morotai tak lagi memiliki ibu kota,” seharusnya menggugah perhatian publik nasional.

Pratisi Hukum Saiful Djanwar, memberi tanggapan terkait polemik tersebut. Menurutnya tidaklah mungkin wilayah administratif sebuah kabupaten, termasuk pusat pemerintahan, secara sepihak bisa diklaim oleh institusi militer tanpa proses hukum yang transparan dan dapat diakses publik,

Dalam kerangka hukum nasional, lanjutnya, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, setiap institusi, baik sipil maupun militer, harus mengurus hak atas tanah melalui sertifikasi resmi. Sertifikat adalah satu-satunya bukti hak yang diakui oleh negara. Tanpa itu, klaim atas lahan, apalagi dalam skala besar dan menyentuh kepentingan publik, menjadi tidak sah secara hukum,

“Jika TNI-AU benar memiliki bukti sertifikat yang sah atas tanah tersebut, maka publik berhak tahu. Jika tidak, maka tindakan itu patut dipertanyakan, karena berpotensi menggeser batas-batas kewenangan antara militer dan sipil, hal yang sangat sensitif dalam negara demokrasi,”kata Saiful Djanwar kepada halmaheraraya.id, Minggu (11/05/2025).

Dia mengaku, Tentu, peran strategis TNI dalam menjaga kedaulatan negara sangat dihormatj. Namun, ketika sebuah lembaga negara justru mengambil alih fungsi yang berada di luar ranahnya, maka yang terjadi bukan perlindungan, melainkan potensi dominasi yang melanggar prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan.

“Di mata rakyat Morotai, klaim ini bisa dimaknai sebagai penghapusan identitas administratif mereka. Jika Daruba diklaim sebagai milik penuh militer, maka di mana warga harus mengurus layanan publik? Di mana kantor bupati akan berdiri secara legal? Ini bukan lagi sekadar soal tanah, melainkan soal eksistensi pemerintahan lokal dan pelayanan dasar kepada masyarakat,”ujarnya.

Dikatakannya, di tengah upaya pemerintah pusat mendorong pembangunan dari pinggiran dan memperkuat otonomi daerah.

“Tindakan seperti ini justru berpotensi memperlemah fondasi yang sedang dibangun, jadi menurutnya persoalan tersebut harusnya dibuat (audit legal dan mediasi terbuka) agar supaya bisa ditemukan benang merahnya,”tegasnya.

Saiful berharap agar pemerintah pusat melalui Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Dalam Negeri harus segera turun tangan. Audit legal terhadap status lahan harus dilakukan secara terbuka, dan tidak cukup hanya mediasi tertutup antara TNI dan pemda, karena masyarakat juga berhak mengetahui ke mana arah status tanah yang mereka tempati dan layani setiap hari,

Lebih dari itu, Presiden sebagai Panglima Tertinggi harus memastikan bahwa institusi militer tetap berada dalam koridor konstitusi dan hukum, bukan menjadi aktor yang merusak tatanan sipil, karena morotai adalah bagian sah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan setiap jengkal tanahnya harus diatur berdasarkan hukum, bukan klaim kekuasaan.

“Jika wilayah pusat pemerintahan diklaim sepenuhnya oleh TNI-AU, maka apa artinya status ibu kota Daruba? Apakah harus memindahkan pusat pelayanan publik?, atau apakah seluruh struktur pemerintahan lokal dianggap tidak sah karena berdiri di atas tanah yang diklaim institusi lain?, Ini bukan perkara kecil, ini soal kedaulatan sipil yang diatur oleh undang-undang,”harapnya.

Hal tersebut bisa menjadi resiko sosial dan administratif, padahal, masyarakat morotai berhak mendapatkan kepastian hukum atas tanah yang mereka diami, Mereka berhak tahu bahwa kantor pemerintahan, rumah sakit, sekolah, dan pasar berada di wilayah yang secara sah milik publik, bukan di atas lahan sengketa.

“Jika tidak ada kejelasan, maka akan muncul keresahan sosial, bahkan potensi konflik horizontal di kemudian hari,”tandas Saiful.

Terpisah pihak TNI – AU saat dikonfirmasi sejauh ini belum memberikan tanggapan sampai berita ini dipublis.(udy)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *