TERNATE, HR – Pakativa menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Perspektif, Perencanaan, dan Tantangan Implementasi Pembangunan Berkelanjutan Pesisir Laut dan Pulau-Pulau kecil”. Dimana, FGD ini dirancang untuk membangun strategi mitigasi adaptasi krisis iklim di Maluku Utara (Malut).
Direktur Pakativa Nursyahid Musa, Jumat (22/7/2022) di Cafe UD Kentjana mengatakan, sebagian besar porsi pengurangan emisi dalam Nationally Determined Contributions (NDC) dikaitkan dengan hutan yang memiliki fungsi menyerap karbon di udara, bahkan potensi emitan lain juga mampu menyerap karbon setara atau lebih besar dari hutan daratan, namun belum menjadi perhatian serius dalam konteks mitigasi krisis iklim.
Kata dia, padahal dalam konteks isu iklim, ekosistem pesisir di identifikasi mampu mengurangi emisi gas rumah kaca dibanding hutan daratan, meliputi hutan mangrove, rawa payau, dan padang lamun, tetapi menjadi faktor penting yang diidentifikasi sebagai upaya mitigasi perubahan iklim. Karena itu, perencanaan pembangunan rendah karbon di daerah seharusnya selaras dan memiliki perspektif kewilayahan yang integratif.
“Krisis iklim saat ini merupakan ancaman nyata, perlu upaya bersama dalam rancang bangun strategi mitigasi adaptasinya keterlibatan publik sangat penting. umUntuk itu, sebagian masyarakat desa di Malut telah memiliki dasar pengelolaan yang berkelanjutan. Hal ini dapat di konseptualkan sebagai bagian dari pendekatan strategi mitigasi adaptasi perubahan iklim,” cetusnya.
Lanjutnya, kegiatan ini perlu diakomodir ke dalam program-program pembangunan berkelanjutan yang telah dicanangkan oleh pemerintah daerah agar tercipta sinergisitas. Upaya-upaya semacam itu mesti didorong paling tidak untuk meminimalisir dampak.
Selain itu, sebagai wilayah pulau-pulau kecil dan pesisir laut di timur Indonesia, Malut dinilai rentan terhadap dampak dari krisis iklim global. Perubahan pola cuaca ekstrim dan kenaikan suhu rata-rata dalam waktu yang cukup panjang, seperti apa yang dilaporkan Stasiun Metereologi Kelas I Sultan Baabullah Ternate per 2020 – berdampak langsung terhadap sektor produktifitas masyarakat tempatan, pertanian dan perikanan.
“Tentu saja dalam konteks kebencanaan perlu dipikirkan secara serius seperti apa pendekatan strategi mitigasi adaptasinya sebuah wilayah dengan karakter dan pola produksi pemukim yang hidup di pesisir dan pulau-pulau kecil seperti Malut,” ujarnya.
Nursyahid menuturkan, perkumpulan Pakativa memandang strategi pembangunan berkelanjutan tidak hanya ditujukan untuk menjawab permasalahan lingkungan hidup berupa upaya-upaya pengendalian emisi dan polusi namun juga berkorelasi erat dengan soal resiliensi pangan.
Meski begitu, bagaimana upaya menjaga dan merawat daya subsistensi masyarakat di perkampungan tetap berlanjut di tengah ancaman iklim dan faktor yang mengakselerasi terjadinya dampak perubahan iklim di daerah .
“Dalam situasi demikian tentunya diperlukan upaya bersama antar pihak untuk meminimalisir kerentanan dari apa yang disebut sebagai bencana iklim, salah satunya dapat dimulai dengan membangun forum komunikasi dan audiensi para pihak sebagai bagian dari langkah-langkah korektif dan integrasi data, dengan harapan dapat melahirkan tindakan kolektif dan peran serta yang konstruktif,” tegasnya.(red)