“Percepatan Pelaksanaan Hutan Adat di Provinsi Maluku Utara”

  • Whatsapp
H.Rustam Nur, S.Hut,M.Si (Rimbawan Malut)

Refleksi 9 Tahun Putusan MK No : 35/PUU-X/2012
————————•
Oleh :

H.Rustam Nur, S.Hut,M.Si  (Rimbawan Malut)

Bacaan Lainnya

KEBERADAAN Masyrakat Hukum Adat (MHA) sudah sejak lama termarginalisasikan di bawah kekuasaan negara. Semua itu berakhir melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/2012 yang menyatakan bahwa hutan adat berada di wilayah adat dan bukan di kawasan hutan negara.

Masyarakat adat merupakan sekumpulan orang yang hidup bersama dalam satu wilayah serta memiliki hubungan keterikatan sebagai satu keturunan. Hutan, tanah, sungai serta gunung memiliki keterikatan tersendiri dengan mereka. Hutan bukan hanya sebagai suatu ekosistem tempat adanya tumbuhan yang bisa digunakan untuk kepentingan manusia, namun bagi masyarakat adat, hutan merupakan symbol dari sebuah harga diri.
Pengelolaan hutan lestari telah dilakukan masyarakat adat sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu dan itu tetap diterapkan sampai saat ini. Hal ini karena masyarakat adat mengerti akan pentingnya hutan sebagai tempat mencari nafkah, penyedia sumber daya, kawasan konservasi, penyedia air dan fungsi-fungsi lainnya. Penerapan hal ini juga diperkuat dengan aturan-aturan adat yang mengikat. Seperti pemberian sanksi dan denda bagi masyarakatnya yang terbukti salah.

Konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi memberikan pengakuan terhadap hak masyarakat hukum adat atas hutan adatnya. Pengakuan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945. Namun pengakuan hak masyarakat hukum adat yang ada dalam Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945 merupakan pengakuan bersyarat, yaitu ”sepanjang kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya masih hidup”.
Pengakuan terhadap hak masyarakat hukum adat atas hutan adatnya mendapatkan penguatan dengan dikabulkannya judicial review atas ketentuan hutan adat yang ada dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap UUD Tahun 1945.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/ PUU-X/ 2012 tanggal 16 Mei 2013, dimana Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Hutan Adat adalah Hutan yang berada di wilayah adat masyarakat hukum adat dan bukan lagi Hutan Negara. Keputusan ini juga sekaligus sebagai landasan bagi pemerintah untuk membangun pola interaksi dengan masyarakat hukum adat dan bertukar informasi serta melakukan tindak lanjut yang harus dilaksanakan setelah adanya penetapan hutan adat disuatu wilayah, sehingga esensi dari putusan tersebut adalah bahwa masyarakat memiliki akses kelola kawasan hutan adat sesuai dengan kearifan lokal.

Dalam penetapan hutan adat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,  perlu dukungan pemerintah daerah.
Peran pemerintah daerah, jadi sangat penting dalam pengakuan hak masyarakat adat dan simpul negosiasi. Jadi perlu adanya komitmen dan kemauan politik pemda.
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di media masa beberapa tahun lalu tidak beberapa lama setelah di keluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-x/2012 Menhut dan Sekjen Kemenhut menyatakan bahwa Kemenhut akan menjalankan putusan MK dan menanti Pemda membuat Perda sebagaimana di maksud dalam pasal 67 UU Kehutanan. Setelah ada Perda, barulah Kemenhut mengakui hutan adat. Lebih lanjut Kemenhut mengeluarkan surat Edaran Menhut Nomor 1/Menhut-II/2013. Pada intinya sama saja, bahwa Kemenhut “lempar bola “ ke Pemda untuk membuat perda. Kemenhut melempar “bola panas” kepada pemda seakan-akan otoritas untuk menetapkan hutan adat itu berada pada pemda. Padahal banyak hal yang perlu di lakukan oleh Kemenhut untuk menjadi rujukan pemda dalam menyusun Perda antara lain: (1).Menciptakan nomenklatur khusus hutan adat dalam statistik dan administrasi kehutanan, (2).Mempercepat di keluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) tentang Hutan Adat yang di amanatkan oleh pasal 67 UU Kehutanan tersebut. ini artinya Kemenhut harus segera membuat PP Hutan Adat yang akan menentukan bagaimana pengadministrasian hutan adat dan tanggung jawab apa saja yang akan di lakukan Kemenhut untuk mempromosikan hutan adat, (3).Ikut mendorong Pemda menyiapkan Perda yang salah satu isinya mengenai keberadaan hutan adat. Jadi ada banyak hal yang bisa di lakukan oleh Kemenhut daripada sekedar menyodorkan telapak tangan menanti dokumen Perda dari Pemerintah Daerah.
Berdasarkan data usulan hutan adat  di Malut yang masuk ke Direktorat  Jenderal Perhutanan Sosial yaitu hutan adat Pagu, Modole, Gura, Boeng, Lina, Huboto, Mumulati, Morodina  Morodai dan Towiloko di  Halmahera Utara.
Hutan Adat  Banemo, Kobe,  Peniti dan Fritu di Kabupaten Halmahera  Tengah. Lalu Hutan adat Dodaga dan  Wale Ino di Halmahera Timur. Terakhir,    hutan adat Gane Dalam, Gane Luar di Kabupaten Halmahera Selatan. Hutan adat adalah salah satu mekanisme pengelolaan hutan yang mengakui eksistensi dan memberikan ruang lebih banyak kepada masyarakat hutan adat untuk mengelola hutan dan sumber daya alam di sekitarnya sesuai kearifan lokal dan pengetahuan tradisionalnya yang telah berlangsung secara turun menurun. Kalau ini tidak di tindak lanjuti secepatnya, akan berakibat permasalahan tenurial dan konflik hutan dan lahan yang berkepanjangan, Padahal putusan ini menjadi penting untuk menjadi pertimbangan dalam RTRW, renstra SKPD dan pihak lain agar tidak tumpang-tindih dan bisa meminimalisir konflik.
Potensi konflik pada sektor ini juga cukup tinggi. Balai Perhutanan Sosial Dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Kementerian LHK mencatat untuk wilayah Maluku (termasuk Maluku Utara) dan Papua, potensi Konflik tenurial di kehutanan mencapai 1,4 juta hektar. Salah satu penyebab konflik tersebut terjadi karena status kawasan hutan yang tidak memiliki kekuatan hukum. Kawasan hutan di Maluku Utara sebagaimana diatur dalam SK Menhut 302/2013 seluas kurang lebih 2,5 juta hektar namun sebagian besar masih berstatus penunjukan. Status penunjukan sendiri sebenarnya belum memiliki kekuatan hukum tetap. Status tersebut membuat kawasan hutan menjadi rentan menimbulkan Konflik akibat dari tumpang tindih dengan hak-hak masyarakat adat yang dimasukan sebagai bagian dari kawasan hutan negara. Termasuk juga berbagai perkampungan pun masuk dalam status kawasan hutan. Hal tersebut membuat akses masyarakat adat dalam melakukan aktivitas keseharian mereka yang berhubungan langsung dengan hutan tersebut terbatasi.

Menurut Munadi Kilkoda, Ketua Aliansi Masyarakat  Adat Nusantara (Aman) Malut dalm tulisannya tanggal 12 Mei 2018 mengatakan, dari 18 poligon atau titik usulan hutan adat di Malut , sampai saat ini belum satupun ada perda. Pengakuan dan perlindungan wilayah adat,   tampak kurang mendapat dukungan pemerintah daerah di Maluku Utara. Dukungan pemerintah daerah lemah terlihat dari penyusunan peraturan daerah (perda) maupun surat keputusan bupati atau walikota soal pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat yang sangat lamban.

Mencermati perkembangan tersebut di atas dan setelah 9 (sembilan) tahun pasca putusan MK no.35 Tahun 2012, kami sedikit memberikan masukan atau solusi untuk Pemeintah Daerah dan DPRD Maluku Utara di harapkan mampu mendukung dan merealisasikan penetapan Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan wilayahnya pasca keputusan MK No 35/2012. Hal ini penting untuk penyelesaian sengketa sesegera mungkin di antara masyarakat adat dengan para pemegang izin yang saat ini berada di tanah dan hutan adat mereka. Pemeritah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota perlu segera membentuk Tim identifikasi dan verifikasi MHA dan hasil verifikasi dapat di wujudkan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) sebagai landasan legalitas bagi MHA untuk mulai bergerak mengelolah hutan dan lahan adatnya.
Peran AMAN dan MHA sendiri harus perlu ditingkatkan untuk konsilidasi di tingkat lapangan dan mulai menyusun program strategis pengelolaan hutan adat lestari dan prosedur perizinan di hutan adat sebagai upaya untuk mengeksekusi dan menjabarkan Keputusan MK Nomor 35 Tahun 2012.
Peran pemerintah daerah sangat penting dalam pengakuan hak masyarakat adat dan simpul negosiasi. Perlu adanya komitmen dan kemauan politik pemda atau adanya kemauan politik dari negara (political will state), adanya komitmen yang kuat dari masyarakat politik (political society) dan adanya civil society yang kuat, mandiri dan beradab sehingga hak-hak dari MHA dapat telaksana sesuai dengan harapan “HUTAN LEATARI MASYARAKAT SEJAHTERA”.

__________
**)
✔️Mantan Kadis Kehutanan Kabupaten Halmahera Timur
✔️Alumni Fahutan Universitas Hasanuddin Makassar
✔️Alumni Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.