Pilkada : Arena Perebutan Kekuasaan Penuh Kontroversi

  • Whatsapp
Ikram Halil Ketua Umum Komunitas SOCCER MALUKU UTARA

PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) di Maluku Utara (Malut) selalu menjadi peristiwa politik yang menarik untuk didiskusikan. Semakin dekat dengan jadwal pelaksanaannya, atmosfer politik semakin memanas. Tidak hanya di tingkat Provinsi (Pilgub), Pilkada kabupaten kota juga demikian.

Kendati belum ada calon yang pasti keluar sebagai kontestan, karena
Para kandidat berlomba-lomba mencari dukungan dari partai politik sebagai kendaraan syarat untuk bisa bertarung.

Fenomena yang mencolok adalah intensitas para kandidat yang berburu dukungan partai ke Jakarta, pusat kekuatan politik nasional. Namun, di balik semaraknya demokrasi lokal ini, terselip isu serius terkait integritas dan etika politik: uang kerap menjadi penentu utama dalam mendapatkan dukungan partai, bukan kapasitas atau integritas calon kandidat.

Modal Finansial di Atas Kapasitas Intelektual

Dalam realitas politik saat ini, modal finansial sering kali lebih dihargai daripada kapasitas kemampuan intelektual seorang figur. Banyak kandidat yang merasa bahwa mereka dapat memenangkan hati partai politik dengan modal finansial yang kuat, terlepas dari kapasitas intelektual mereka. Tentu anda sudah tahu siapa yang sudah menyatakan diri untuk tampil sebagai kontestan. Beberapa nama merupakan eks kepala daerah, yang nyaris tidak ditemukan prestasi apa yang dihasilkan dan bisa menjadi tolak ukur kemampuan selama memimpin dua periode di daerah asalnya. Tidak hanya mantan kepala daerah, ada pula karir yang menduduki jabatan strategis.
Namun hanya karena memiliki kekuatan finansial, lalu percaya diri untuk tampil. Ironisnya, kebanyakan dari kita tidak menggugat itu.

Hal ini tentunya menimbulkan kekhawatiran besar tentang kualitas pemimpin daerah yang akan dihasilkan dari proses yang didominasi oleh pertimbangan finansial semata. Ketika uang menjadi faktor penentu utama, maka muncul pertanyaan serius tentang nasib kualitas demokrasi dan pemerintahan ke depan.

Para kandidat yang memiliki sumber daya finansial melimpah tidak segan-segan menggelontorkan dana besar untuk mendapatkan rekomendasi partai.

Disisi lain, partai yang menurut fungsi menyeleksi pemimpin dan kader – kader yang berkualitas. Malah beredar cerita memasang tarif fantastis, satu kursi satu miliar rupiah. Meskipun cerita-cerita ini sering kali beredar dari mulut ke mulut dan menjadi rahasia umum, fakta bahwa tidak ada tindakan penegakan hukum yang nyata dari pihak berwenang, khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), membuat banyak pihak bertanya-tanya: apakah jenis transaksi ini bukan termasuk korupsi atau perbuatan melawan hukum?

Transaksi Politik atau Korupsi Terselubung?

Secara hukum, korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi. Jika kita menilik lebih dalam, praktik jual beli rekomendasi partai ini bisa dikategorikan sebagai bentuk korupsi terselubung. Mengapa? Karena terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh partai politik untuk keuntungan finansial mereka. Partai politik yang seharusnya menjadi penyalur aspirasi rakyat dan penentu kebijakan berdasarkan pertimbangan kualitas dan integritas kandidat, malah berubah menjadi ‘pedagang’ yang menjual dukungan mereka kepada siapa pun yang mampu membayar harga tertinggi.

Namun, mengapa transaksi ini jarang, atau bahkan tidak pernah, tersentuh oleh operasi tangkap tangan (OTT) KPK? Ada beberapa faktor yang bisa menjelaskan fenomena ini. Pertama, sifat transaksi yang sangat terselubung dan melibatkan jaringan yang luas serta rapi membuatnya sulit terdeteksi oleh penegak hukum. Kedua, kemungkinan adanya celah hukum yang dimanfaatkan oleh para pelaku, dimana transaksi ini dibungkus dengan rapi dalam bentuk sumbangan atau bantuan politik yang sah menurut undang-undang, meskipun secara etika tetap mencurigakan.

Kelemahan Pengawasan dan Penegakan Hukum

Ketiadaan tindakan dari KPK terhadap praktik ini juga mengindikasikan adanya kelemahan dalam sistem pengawasan dan penegakan hukum di Indonesia. KPK, sebagai lembaga antikorupsi, seharusnya memiliki wewenang untuk menindak segala bentuk korupsi, termasuk praktik jual beli rekomendasi partai ini. Namun, jika KPK tidak memiliki bukti kuat atau informasi yang cukup untuk menindak, maka tugas penegakan hukum ini menjadi lebih sulit.

Di sisi lain, peran masyarakat dan media juga sangat penting dalam mengawasi dan melaporkan praktik-praktik korupsi semacam ini. Keterlibatan aktif masyarakat dalam melaporkan dugaan korupsi dan pelanggaran hukum lainnya bisa membantu KPK dan lembaga penegak hukum lainnya dalam melakukan tugas mereka. Sayangnya, ketakutan akan konsekuensi dan tekanan dari pihak-pihak yang berkepentingan sering kali membuat masyarakat enggan melapor.

Perbaikan Sistem Politik dan Hukum

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan perbaikan sistem politik dan hukum yang komprehensif. Pertama, transparansi dalam proses pemilihan dan pemberian rekomendasi partai harus ditingkatkan. Partai politik perlu membuka diri dan memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengetahui proses seleksi kandidat secara terbuka. Selain itu, regulasi yang lebih ketat dan jelas tentang sumbangan politik dan penggunaannya perlu diberlakukan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

Kedua, peran KPK dan lembaga penegak hukum lainnya perlu diperkuat. KPK harus diberikan wewenang yang lebih luas dan dukungan yang memadai untuk menangani kasus-kasus korupsi politik yang kompleks. Selain itu, pendidikan anti-korupsi dan kesadaran hukum di kalangan masyarakat perlu ditingkatkan untuk menciptakan budaya anti korupsi yang kuat.

Ketiga, sanksi tegas harus diberlakukan terhadap partai politik dan kandidat yang terbukti terlibat dalam praktik jual beli rekomendasi. Ini penting untuk memberikan efek jera dan menunjukkan bahwa tidak ada toleransi terhadap korupsi dalam bentuk apapun.

Kesimpulan

Fenomena berburu partai oleh para kandidat Pilkada dengan mengandalkan modal finansial adalah cerminan dari tantangan besar yang dihadapi demokrasi Indonesia. Praktik jual beli rekomendasi partai bukan hanya mengancam kualitas kepemimpinan daerah, tetapi juga mencederai prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan. Oleh karena itu, perlu ada upaya serius dan komprehensif untuk memperbaiki sistem politik dan hukum, memperkuat pengawasan, dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam memberantas korupsi politik. Hanya dengan demikian, Pilkada bisa menjadi ajang kompetisi yang sehat dan bermartabat, serta menghasilkan pemimpin-pemimpin yang benar-benar berkualitas dan berintegritas.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.