BIROKRASI adalah salah satu bagian integral setiap Negara apalagi bagi masyarakat modern, eksistensi birokrasi adalah sesuatu keniscayaan, karena dimana ada sebuah organisasi yang dalam konteks pembahasan ini adalah “negara” pasti juga terdapat birokrasi sebagai konsekuensi dari tugas pokok negara atau pemerintah dalam memberikan pelayanan yang dapat menjawab persoalan masyarakat, karena dalam hal ini negara mempunyai tugas untuk berpartisipasi dalam melakukan pelayanan yang diperlukan oleh rakyat. Seorang filosof Jerman George Wilhelm Fredrich Hegel berpendapat bahwa birokrasi merupakan jembatan yang menghubungkan antara negara (pemerintah) dengan masyarakatnya (publik). Artinya dalam birokrasi konteksnya perlu menciptakan struktur yang dapat menjadi mediator antara negara yang merefleksikan kepentingan umum, dengan civil society yang terdiri dari berbagai kepentingan khusus dalam masyarakat.
Hegel memandang birokrasi berada ditengah–tengah antara pemerintah dan masyarakat, artinya birokrasi sebagai mediator yang menghubungkan kedua kepentingan general pemerintah dan partikular kekuatan partai politik dalam masyarakat.
Birokrasi bagi sebagian orang seringkali dimaknai sebagai suatu mekanisme yang berbelit-belit, menyulitkan dan menjengkelkan.
Meskipun begitu jika dimaknai dan dipahami dari sudut pandang positivistik, birokrasi adalah upaya untuk mengorganisir perilaku masyarakat agar lebih tertib dalam hal mengelola berbagai sumber daya milik pemerintah yang kemudian mendistribusikan sumber daya tersebut kepada setiap anggota masyarakat. Maka dalam hal ini jelaslah bahwa birokrasi adalah suatu pedoman dalam mengorganisir berbagai pekerjaan agar terselenggara secara teratur. Namun, dalam konteks negara Indonesia yang terjadi di lapangan sedikit berbeda, dimana birokrasi di tarik dalam ruang-ruang politik, khususnya pada politik praktis tentu saja menjadi masalah yang sangat fundamental.
Menurut pendapat Thoha (2014: 27) keberadaan birokrasi pemerintahan tidak dapat dipisahkan dari sebuah proses politik. Pada setiap gugusan masyarakat yang membentuk tata kepemerintahan tidak bisa dilepaskan dari aspek politik.Relasi politik dan birokrasi dalam Pemerintahan di Indonesia yang terjadi pada dalam konteks sekarang tentunya tidak terlepas dari konteks sejarah. Relasi itu tidak lahir dengan sendirinya, tetapi dibentuk oleh sejarah yang telah mendahuluinya. Hubungan ketiganya dapat dilacak dari awal berdirinya negara, mulai dari masa kerajaan, zaman kolonial, hingga pasca kemerdekaan. Tarik menarik politik kekuasaan telah berpengaruh terhadap pergeseran fungsi dan peran birokrasi. Kajian historis politik dan birokrasi dapat membantu memahami fenomena politisasi birokrasi yang terjadi pada saat ini. Hubungan politik dan birokrasi di sistem pemerintahan bisa kita lihat dari beberapa aspek.
Dari aspek politik, kekuasaan, dan birokrasi dalam sistem Pemerintahan Indonesia bagaikan kesatuan yang tidak terpisahkan yang kadang mengesampingkan nilai-nilai etika. Birokrasi yang seharusnya melayani dan berpihak kepada rakyat, berkembang menjadi melayani penguasa dengan keberpihakan pada politik dan kekuasaan. Sampai saat ini kuatnya pengaruh politik dalam birokrasi di Indonesia membuat semakin sulitnya mesin birokrasi memberikan pelayanan publik yang profesional.
Kecenderungan praktek politisasi birokrasi di Indonesia menjadi gejala nyata dengan melibatkan birokrasi secara langsung untuk pendukung pimpinannya yang berasal dari partai politik dalam memperoleh ataupun mempertahankan kekuasaan di lembaga eksekutif negara. Pada pelaksanaan pemilu sering terjadi mobilisasi, penggunaan sarana, dan pemakaian atribut yang dilakukan oleh pejabat politik untuk berafiliasi kepada partai politik tertentu.
Fenomena politisasi birokrasi sering terjadi di tingkat Pemilihan Kepala Daerah dan hal ini menjadi permasalahan yang sangat serius sampai dengan saat ini. Menurut data laporan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) pada Pilkada 2020, laporan pelanggaran netralitas ASN mencapai angka tinggi sebanyak 2.034 kasus. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.597 ASN atau 78,5% diantaranya terbukti bersalah atas pelanggaran tersebut.
Hal ini menciptakan kekhawatiran akan integritas proses demokrasi. Pemberian sanksi disiplin juga berlangsung intensif, di mana 90,8% atau 1.450 ASN telah menerima sanksi sebagai konsekuensi dari pelanggaran yang terbukti. Mengapa disini dijabarkan mengenai angka-angka dari pelanggaran netralitas ASN? Karena, pertama data dari KASN membantu dalam memahami fenomena tentang patologi birokrasi (bereaucrahcy patology) yang sering menghantui birokrasi. Yang kedua, sebagaimana yang diungkapkan oleh (Dwiyanto dkk: 2006) keterkaitan sejarah menjadi bagian penting untuk melihat kemunculan berbagai fenomena dan persoalan-persoalan yang terjadi dalam tubuh birokrasi seperti KKN serta stagnasi budaya pelayanan dalam birokrasi di Indonesia. Politisasi birokrasi kalau di telusuri lebih jauh ternyata memiliki beberapa motif, pertama adalah faktor kompensasi jabatan yang tidak hanya datang dari faktor eksternal birokrasi yang kita sebut sebagai politisasi itu sendiri, namun secara aktif datang dari internal birokrasi melalui para elit-elit birokrat yang juga berebut kompensasi jabatan.
Kedua, mencari profit dari jabatan, hal ini juga sudah menjadi salah satu persoalan dalam struktur birokrasi di Indonesia saat ini. Sudah sangat sering juga kita temukan elit birokrat yang diciduk oleh KPK, KEJATI, dan KEJARI karena melakukan praktik korupsi. Pada umumnya praktik korupsi atau mencari profit ini dilakukan oleh birokrat melalui orang-orang yang berada di luar struktur birokrasi itu sendiri. Namun, faktanya ditemukan juga fenomena dimana para “makelar” jabatan tersebut adalah bagian dari para elit birokrasi yang ada di internal birokrasi.
Pada umumnya para “makelar” ini sudah bersama-sama dengan Kepala Daerah sejak mereka masih pada tahapan kampanye, dan hal ini juga menjadi salah satu alasan terjadinya birokrasi berpolitik dalam konteks Pilkada di suatu daerah.
KESIMPULAN
Politik sebagaimana kita ketahui terdiri dari orang-orang yang berperilaku dan bertindak politik yang diorganisasikan secara politik oleh kelompok-kelompok kepentingan dan berusaha mencoba mempengaruhi pemerintah untuk mengambil dan melaksanakan suatu kebijakan atau tindakan yang bisa mengangkat kepentingannya dan mengenyampingkan kepentingan-kepentingan kelompok lain. Kelompok masyarakat itu mempunyai kepentingan yang diperjuangkan agar pemerintah terpengaruh. Birokrasi pemerintah langsung maupun tidak langsung akan selalu berhubungan dengan kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat.
Namun, yang menjadi masalah disini adalah politisasi birokrasi sampai dengan saat ini tetap menjadi masalah yang berulang setiap lima tahunan. Oleh karena itu, netralitas birokrasi dalam kontestasi politik praktis “pilkada” sangat urgent karena terkait dengan usaha dari pemerintah untuk mewujudkan birokrasi yang professional dan menjalankan fungsi pelayanan kepada masyarakat secara optimal.
Kecenderungan para elit birokrasi yang ikut aktif memobilisasi para birokrat dalam kontestasi politik khususnya pada pilkada telah mengakibatkan birokrasi di daerah menjadi sulit untuk bekerja secara efektif dan menerapkan prinsip-prinsip professionalisme dalam menjalankan tugasnya yakni melayani masyarakat. Fenomena ini tentu saja akan sangat menganggu pekerjaan birokrasi di “daerah” khususnya ke depannya.
Keterlibatan para elit birokrasi di tingkat daerah pada saat pilkada, tidak hanya berputar pada persoalan bahwa birokrasi dimobilisasi dan dipolitisasi oleh kepala daerah, namun juga fakta bahwa para elit birokrasi tersebut juga ikut berpartisipasi dalam kerja-kerja politik sehingga politisasi birokrasi itu dianggap menjadi sebuah hal yang dianggap wajar.