Oleh : Muhammad Ahsan (Praktisi Hukum)
Sebentar lagi atau tepatnya tanggal 27 Nopember 2024 bangsa Indonesia akan melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak. Ada 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota yang akan menyelenggarakan Pilkada untuk memilih Gubernur/wakil Gubernur, Bupati/wakil bupati dan Walikota/wakil walikota. Pilkada merupakan wujud dari demokrasi dimana rakyat akan memilih sendiri kepala daerahnya yang diharapkan akan membawa perubahan mendasar untuk kemajuan daerah. Oleh karena itu partisipasi Masyarakat yang tinggi dalam pemilukada mencerminkan kepercayaan dan legitimasi publik terhadap proses demokrasi yang sedang berjalan.
Menjelang pilkada ini tidak sedikit bakal calon kepala daerah yang ingin maju pilkada mulai memasang baliho dan foto-foto mereka di tempat-tempat publik demi memperkenalkan diri kepada Masyarakat. sementara di sisi lain Partai-partai politik mulai saling lobi menjajaki kerja sama untuk mengusung bersama kandidat yang akan mereka usung. bagi partai politik kerja sama politik penting sebab tidak semua partai bisa mengusung pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sendiri. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota (Pilkada) mengatur, hanya parpol atau gabungan parpol yang menguasai minimal 20 persen kursi DPRD atau memperoleh paling sedikit 25 persen suara sah pada pemilu terakhir yang bisa mengajukan kandidat ke Komisi Pemilihan Umum.
Namun pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 tanggal 20 Agustus 2024 yang menghapus ketentuan ambang batas (threshold) syarat pencalonan kepala daerah, yaitu 20 persen kursi DPRD dan atau 25 persen suara di UU Pilkada dengan menyesuaikan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) di setiap daerah, maka Partai politik atau gabungan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD pun sekarang bisa mengusung calon kepala daerah dengan syarat perolehan suaranya antara 6,5 – 10 persen. Longgarnya syarat pencalonan kepala daerah ini tentu bisa membuat koalisi partai politik yang sudah terbentuk menjadi pecah Kongsi.
Tidak seperti pilpres yang lalu yang cenderung berjalan dengan aman dan kondusif, maka pilkada serentak tahun ini diperkirakan akan lebih panas dan rawan terjadinya konflik dan gesekan ditengah Masyarakat. Ini semua akibat pandangan politik dan pilihan yang berbeda beda. Politik identitas yang membelah Masyarakat dalam bentuk suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) disinyalir Kembali menguat. Media sosial seperti Facebook, WhatsApp, Instagram, Twitter, tiktok lainnya seperti biasa akan menjadi media yang banyak digunakan untuk melakukan kampanye antar masing-masing pendukung dan ini berpotensi meningkatnya Kembali berita bohong (hoaks) dan ujaran kebencian (Hate speech) dengan berbagai kepentingan.
Persaingan yang intens antar calon kepala daerah dan pendukungnya untuk memenangkan konstestasi pilkada tentunya akan membuat masing-masing calon kepala daerah berusaha semaksimal mungkin dengan berbagai cara agar tampil sebagai pendulang suara terbanyak. Disinilah rawan terjadinya kecurangan dalam pilkada seperti praktek money politik. Money politik dapat merusak nilai demokrasi dan juga dapat mengubah pikiran Masyarakat yang literasinya rendah karena faktor iming-iming uang. pelaku kecurangan umumnya lebih berpotensi dilakukan oleh petahana yang akan maju kembali maupun petahana yang tidak dapat maju kembali tetapi mendukung salah satu paslon. Lemahnya pengawasan pemilu akan membuat potensi terjadinya kecurangan akan semakin besar dan karena itu Pengawasan dan penegakan hukum terhadap setiap pelanggaran yang terjadi dalam pemilukada sangat diperlukan untuk memastikan pilkada berjalan dengan jujur dan adil. oleh karena itu semua stakeholder seperti TNI/Polri, Kabinda, Kejaksaan, KPU, Bawaslu, Pemerintah daerah, serta semua komponen masyarakat harus dapat bekerja sama agar Pilkada dapat berjalan dengan aman, damai, dan demokratis.
POTENSI KERAWANAN PILKADA
Bahwa berkaca dari pengalaman Kita dari satu Pemilu ke Pemilu yang lain, dari satu Pilkada ke Pilkada yang lain, maka ada beberapa catatan yang menjadi potensi sumber kerawanan dan konflik yang perlu menjadi perhatian bersama agar tidak mengganggu jalannya pilkada yaitu :
Pertama, pada daerah yang masih ada calon petahana biasanya kerawanan yang terjadi dalam pilkada adalah masalah netralitas ASN, kepala desa dan perangkatnya. Bahwa dalam pilkada 2024 ini dari 508 kabupaten/kota yang akan menyelenggarakan Pilkada, ada 224 daerah yang mana petahana mencalonkan kembali sebagai calon kepala daerah. Dengan pengalamannya berkuasa selama 5 tahun tentu calon petahana ini untuk menang lebih terbuka karena disamping mereka memiliki wewenang untuk menggerakkan anggaran keuangan juga mereka menguasai akses birokrasi untuk mengendalikan ASN maupun kepala desa serta perangkatnya.
Masalah Netralitas ASN sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara dimana dijelaskan bahwa ASN harus memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik tanpa memihak pada golongan tertentu, namun dalam prakteknya netralitas PNS ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pihak petahana selaku atasan ASN bisa menggunakan kewenangan yang ada padanya untuk memaksa ataupun mengiming-imingi ASN dan kepala Desa agar mendukung dirinya, dan adanya ancaman kalau tidak mendukung maka akan di nonjobkan atau dipindahtugaskan di wilayah terpencil. Ini banyak terjadi di daerah-daerah yang membuat ASN akhirnya takut dan mengikuti apa maunya calon petahana tersebut.
Kedua, Pemilu yang terbuka, jujur dan adil menuntut pentingnya komitmen KPU dan Bawaslu dalam mengantisipasi segala bentuk kecurangan Pilkada di setiap tahapan. Tentunya ini hanya bisa berjalan selama KPU dan Bawaslu menjalankan tugasnya dengan penuh integritas dan independen.
KPU dan Bawaslu perlu mengantisipasi terjadinya berbagai pelanggaran seperti praktek money politics, kecurangan dalam penghitungan suara atau adanya upaya untuk merusak atau menghilangkan kotak suara terutama di pulau-pulau terjauh dengan akses transportasi sulit yang umumnya minim pengawasan. pelanggaran-pelanggaran seperti ini sering diarahkan oleh kelompok yang kecewa untuk menuntut pemungutan suara ulang (PSU). Adanya PSU berarti pembengkakan anggaran negara. Oleh karena itu untuk daerah-daerah yang kondisi geografisnya terdiri dari pulau-pulau serta kondisi infrastrukturnya kurang memadai proses pendistribusian logistik perlu diantisipasi lebih dini supaya hal ini tidak terjadi.
KPU dan Bawaslu juga perlu memastikan bahwa semua partai dan peserta pasangan calon yang ada mematuhi peraturan. Disini tata tertib pemilu diterapkan dengan tegas, konflik dan keributan sering terjadi pada saat pemungutan dan penghitungan suara karena tata tertib tidak jelas dan membingungkan para peserta pemilu. KPU selaku penyelenggara pemilu dan Bawaslu selaku pengawas adalah pilar penting untuk membuat demokrasi kita semakin matang dan berkualitas.
Ketiga, Antisipasi adanya pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan situasi politik untuk memecah belah Masyarakat yang dapat memicu konflik antar pendukung dalam pilkada. Disini pentingnya dukungan dari banyak pihak khususnya Intelijen, TNI dan POLRI dalam pengamanan pilkada. Intelijen, TNI dan POLRI perlu bekerja sama dengan baik untuk mengantisipasi sejak dini segala bentuk kerawanan yang dapat mengarah kepada terjadinya chaos.
Keempat, Pelanggaran pemilukada diperkirakan akan meningkat seperti adanya kampanye diluar jadwal, pengrusakan baliho, penggunaan tempat ibadah untuk kampanye, penggunaan fisilitas pemerintah untuk kampanye, dan sebagainya. maka dari itu Bawaslu, penyidik Polri dan Kejaksaan yang tergabung dalam sentra Gakumdu agar lebih sinergi dalam memperkuat kesamaan sikap dan persepsi dalam menyikapi adanya laporan maupun temuan pelanggaran pemilu. Setiap laporan yang masuk perlu ditelaah dan dianalisa secara akurat untuk menentukan apakah laporan tersebut masuk dalam pelanggaran pidana pemilu atau sekedar pelanggaran administratif.
PILKADA DAN REKTRUTMEN KEPEMIMPINAN
Pilkada sebagai sarana memilih pemimpin daerah sudah berkali-kali kita laksanakan. Setiap pilkada tentunya rakyat berharap agar pemimpin yang terpilih nantinya adalah yang baik dan bertanggung jawab penuh kepada masyarakat. Namun harapan tersebut tidak selalu terwujud. Ini tentu menimbulkan kekecewaan rakyat. Rendahnya partisipasi publik untuk menggunakan hak pilihnya (golput) dalam pemilu dan pilkada menandakan rendahnya kepercayaan Masyarakat terhadap demokrasi langsung ini. Mereka akhirnya malas menggunakan hak pilihnya dalam pemilu maupun pilkada. Mereka menganggap pemilu dan pilkada tidak bisa mengubah kondisi mereka. Bagi mereka Siapa pun pemimpinnya, toh Nasib mereka tidak berubah. tukang becak ya tetap tukang becak, buruh ya tetap buruh, jadi apa gunanya nyoblos dalam pilkada. Kalaupun mereka mau mendatangi TPS untuk nyoblos suara hanya karena iming-iming uang. Ini adalah kegagalan partai politik dalam melahirkan pemimpin dan akibat tidak jalannya Pendidikan politik kepada rakyat.
Pendidikan politik bagi masyarakat tidak hanya menjadi tanggungjawab Komisi Pemilihan Umum (KPU) tapi menjadi tanggungjawab bersama, terutama oleh partai politik. Pendidikan politik sangat penting agar rakyat memiliki kesadaran dan tanggung jawab dalam menggunakan hak pilihnya. pemilih yang cerdas, kritis, dan berintegritas tentunya tidak akan golput. Mereka akan memberikan hak pilihnya kepada calon yang dianggap memiliki visi dan komitmen yang baik berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya tentang calon tersebut. Bagi mereka memilih kepala daerah yang tepat sangat penting karena memiliki dampak langsung terhadap kehidupan masyarakat, baik dalam hal kebijakan publik maupun pelayanan publik.
Adanya kekecewaan rakyat terhadap pemimpin yang terpilih dalam proses pemilu dan pilkada adalah karena kegagalan rektrutmen pemimpin. Selama ini, bagi partai politik, calon kepala daerah yang akan mereka usung adalah yang memiliki popularitas dan elektabilitas, serta punya uang banyak. Kecerdasan dan kejujuran kurang mendapat perhatian. Inilah yang membuat banyak Kepala daerah yang terpilih dengan suara terbanyak sekalipun gagal untuk dapat mewujudkan kemajuan, pembangunan, dan kesejahteraan rakyat di daerahnya.
Kita semua tentu berharap agar Pemilu dan Pilkada dapat melahirkan pemimpin yang memiliki kompetensi yaitu Pemimpin daerah yang mempunyai pengetahuan untuk mengelola daerahnya, dari persoalan ekonomi, pembangunan manusia, pengelolaan keuangan, hingga pengelolaan sumber daya manusia birokrasinya sehingga kemajuan daerah dan kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan mencari pemimpin yang memiliki kompetensi ini adalah tugas dan tanggung jawab partai politik.
Wallahu’alam (***).