Rustam Nur : Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Wisata di Malut Tabrak Aturan

  • Whatsapp
Pemerhati Kehutanan Provinsi Maluku Utara H.Rustam Nur, S.Hut, M.Si

TERNATE,HR—Pemanfaatan Jasa Lingkungan (Jasling) Hutan Dalam Pengelolaan Wisata di Provinsi Maluku Utara dinilai menabrak aturan karena tanpa melalui mekanisme yang telah diatur dalam Permenhut Nomor: P22/Menhut-II/2012 tentang Pedoman Kegiatan Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam pada Hutan Lindung dan Permen LHK Nomor : P.31/Menlhk/setjen/kum.1/3/2016 tentang Pedoman Kegiatan Usaha Jasa Lingkungan Wisata Alam pada Hutan Produksi.

“Pemda kabupaten/kota di Malut banyak melakukan pengelolaan pulau-pulau kecil potensi wisata tanpa melalukan pengecekan, studi, maupun koordinasi dengan pihak terkait dalam hal ini pemerintah Provinsi dan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) setempat,”ungkap Pemerhati Kehutanan Provinsi Maluku Utara H.Rustam Nur, S.Hut, M.Si, kepada halmaheraraya.id, Kamis (17/3/2022).

Menurutnya, penguasaan titik titik potensi wisata dalam kawasan hutan banyak dikuasai secara sepihak oleh pemerintah kabupaten dan kota terutama penguasan pulau-pulau kecil di kawasan hutan lindung. Sbagai propinsi kepulauan, Maluku Utara banyak memiliki pulau-pulau kecil yang berstatus sebagai hutan lindung.

Rustam yang juga Rimbawan Malut, mengaku ada beberapa lokasi wisata di Maluku Utara yang masih berstatus kawasan hutan yang seharusnya menjadi urusan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)setempat. Lokasi tersebut seperti : Pulau Dodola di Morotai sebagian besar merupakan hutan lindung (HL) seharusnya pengelolaan bersama KPH pulau Morotai, Pulau Kucing berstatus Hutan Produksi yang dapat di Konversi (HPK) terletak di administrasi desa Fukwew di wilayah KPH Sanana yang seharusnya dikelola bersama KPH Sanana, Kepulauan Widi di wilayah KPH Bacan merupakan Hutan Lindung (HL) dan Pulau Kusu di  wilayah KPH Bacan.

Sementara penguasaan titik-titik potensi wisata di kawasan hutan seperti Air terjun, sumber air panas, danau, kawasan mangrove yang dicontohkan seperti Danau Tolire Besar masih dalam kawasan Hutan Produksi Yang dapat di Konversi (HPK) di wilayah KPH Ternate sudah dikelola Dinas Pariwisata Kota Ternate dengan penganggaran APBD begitu juga kawasan Hutan Mangrove Sofifi di wilayah KPH Tikep.

“Masalah tersebut harus menjadi perhatian Pemprov Malut terutama instansi terkait yakni Dinas Kehutanan Malut, karena pemanfaatan kawasan hutan tanpa izin mengandung unsur pidana jika tidak dicarikan solusinya (pasal 50, ayat 3 huruf a dan Ketentuan Pidana pasal 78 ayat 2 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan),”ujar jebolan Alumni Fakultas Kehutanan Universitas Hasanudin Makassar ini.

Labih lanjut, Rustam yang biasa disapa Haji Us menegaskan, pentingnya Kepala Dinas Kehutanan dengan dasar UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta turunannya dan UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah serta turunannya segera melakukan telahan teknis kepada gubernur menyangkut penguasaan pulau-pulau kecil dan beberapa titik potensi wisata yang berada dalam kawasan hutan oleh pemerintah Kab/Kota, Telaahan menyangkut : Aspek pidana sesuai UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Aspek kewenangan dalam UU tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Aspek solutif berdasarkan aturan yang berlaku (skema Perhutanan Sosial dll).

Gubernur kata Rustam dengan kewenangan UU 23 tahun 2014 membuat pemberitahuan tertulis kepada kabupaten/kota, agar bersama sama pemerintah provinsi melakukan pembahasan lebih lanjut. Selain itu, Gubernur harus membuat edaran kepada seluruh kabupaten/kota untuk memghentikan sementara rencana pengembangan titik – tikik potensi wisata yang berada dalam kawasan hutan, sambil menunggu pembahasan bersama dengan pemerintah provinsi dan Dinas Kehutanan segera membahas secara internal untuk mencari solusi terhadap masalah yang terjadi.

“Secara aturan pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam dimungkinkan di kawasan hutan terutama hutan lindung dan hutan produksi,”tegas Rustam Nur yang merupakan alumni Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada (UGM) Jogyakarta ini.

Terkait masalah tersebut, Alumni Fahutan Unhas Makassar ini, meminta Dinas Kehutanan segera melakukan inventarisasi dan pemetaan menyeluruh terhadap potensi jasling (wisata alam, sumber air, panas bumi dll), potensi Perhutanan Sosial, potensi industri-industri non kayu, dalam kawasan hutan Maluku Utara dengan sedapat mungkin didukung penganggaran dari APBD Provinsi dan harus mendapat dukungan penuh oleh DPRD Provinsi.

“Dinas kehutanan harus lebih pro aktif terlibat dalam pembobotan RPJMD Provinsi Maluku Utara sehingga diharapkan program-program prioritas sektor kehutanan seperti Perhutanan Sosial yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat dan percepatan pembangunan daerah dapat terakomodir,”ujar Rustam M Nur, yang juga mantan Kadis Kehutanan Kabupaten Halmahera Timur.

Dia menjelaskan, jasa lingkungan ialah manfaat yang diperoleh masyarakat dari hubungan timbal-balik yang dinamis yang terjadi di dalam lingkungan hidup, antara tumbuhan, binatang, dan jasa renik dan lingkungan non-hayati. Itu artinya jasa lingkungan adalah produk sumberdaya alam hayati dan ekosistem berupa manfaat langsung (tangible) dan manfaat tidak langsung (intangible) yang meliputi antara lain jasa wisata alam/rekreasi, jasa perlindungan tata air/hidrologi, kesuburan tanah, pengendalian erosi dan banjir, keindahan, keunikan, keanekaragaman hayati, penyerapan dan penyimpanan karbon.

Sementara Pemanfaatan Jasa Lingkungan menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung Dan Hutan Produksi adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya.

Hutan mempunyai nilai strategis sebagai sumber plasma nutfah, yang kaya keanekaragaman hayati. Selain itu, hutan juga merupakan sistem penyangga kehidupan dengan fungsi ekologi, ekonomi dan sosial, sekaligus komponen penting dalam perubahan iklim.

Hutan merupakan ekosistem berupa kawasan sumber daya alam yang terdiri dari kesatuan tumbuhan dan pepohonan. Sementara itu, kawasan hutan merupakan area tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah agar terus dipertahankan sebagai hutan.

Sementara pemanfaatan hutan merupakan kegiatan dalam memanfaatkan lahan hutan termasuk jasa lingkungan, memanfaatkan dan mengambil hasil hutan kayu dan  nonkayu secara maksimal untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestarian hutan.

Pemnfaatan jasa lingkungan yang potensial dengan tetap menjaga lingkungan dan mengusung fungsi utamanya. Pemanfaatan jasa lingkungan bisa dilakukan di hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Kegiatan ini dilakukan oleh pengelola hutan yang telah mengantongi izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (IUPJL).

Izin pemanfaatan hutan adalah izin yang diterbitkan oleh pejabat berwenang untuk memanfaatkan hutan di areal tertentu. Pemanfaatan dapat mencakup pemungutan hasil hutan kayu dan/atau non-kayu, pemanfaatan kawasan, dan pemafaatan jasa lingkungan.

Jasa lingkungan hutan merupakan produk sumber daya alam hayati dan ekosistem berupa manfaat langsung dan manfaat tidak langsung. Pemanfaatan jasa lingkungan pada kawasan hutan maupun bukan kawasan hutan adalah bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi utamanya. Sebagian besar Destinasi Pariwisata Prioritas dan Super Prioritas mengandalkan keindahan bentang alamnya, oleh karena itu diperlukan dukungan produk jasa lingkungan non wisata alam untuk pengembangan DPP (daerah pengembangan pariwisata) dan DSP (destinasi super prioritas).(red)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *