Persinggungan Agama dan Politik, Catatan Bersama Muchlis

  • Whatsapp

Oleh : Rahmat Mustari/Pengiat Sosial Media

Tulisan pendek ini adalah sebuah catatan bersama Muchlis Tapi Tapi. Karena itu, tulisan ini sudah barang tentu adalah opini saya tentang Muchlis. Tulisan ini juga bukan atas dorongan pemujian atau pengagungan terhadap seorang Muchlis. Ya, tulisan ini memang hadir di tengah geliat pemilihan kepala daerah dimana Muchlis digadang-gadang sebagai salah satu calon kepala daerah Halmahera Utara tahun 2024. Konteks lain dari tulisan ini disamping menunjukkan pandangan Muchlis yang luput dari perhatian banyak orang, bahwa kita (Halmahera) dengan multikulturalismenya membutuhkan pemikiran yang sepadan dengan carok masyarakat yang demikian.

Saya menduga, kesalahpahaman banyak orang kepada Muchlis disebabkan oleh cara pandangnya yang kritis dalam politik ketimbang mempertimbangkan relasi-relasi yang didasarkan pada hubungan darah, agama, suka, dll. Tapi demikian, pandangan kritisnya tidak berarti penolakan mutlak terhadap nilai-nilai yang bersumber dari tradisi. Muchlis tentu masih menjadikan nilai-nilai tradisi sebagai aba-aba yang memandu gerak politiknya. Hanya saja nilai-nilai tradisi itu telah mengalami transformasi dalam pemikiran Muchlis. Akibat kesalahpahaman terhadap cara-berada baik cara pandangnya terhadap politik, budaya, tradisi, apalagi agama, Muchlis dinilai dengan beragam pameo yang tidak berdasar.

Halmaheraraya.id, memuat salah satu tulisan Muchlis tentang Konstruksi Dasar Keberagamaan Dalam Islam. Opini ini, bagi saya, dengan terang menggambarkan cara pandang Muchlis tentang agama. Meski tulisan itu concern pada salah satu agama tapi sekaligus menunjukkan sikap kritis Muchlis atas agama secara umum. Dengan membuka peristiwa sejarah Muchlis menunjukkan pada kita bahwa perbedaan pandangan atas keberagamaan telah terjadi bahkan sejak generasi awal penerima agama. Dan keberagamaan generasi berikutnya dipengaruhi oleh cara pandang-tradisi yang menyejarah. Dengan demikian, memandang agama secara kritis adalah upaya Muchlis menemukan otentisitas makna agama yang sesungguhnya, sebagaimana warta langit yang murni dan suci.

Di ruang-ruang yang lain, dimana saya terlibat dalam obrolan di beberapa kesempatan, Muchlis sering mengemukakan bahwa agama tidak hanya sebagai sistem ritual, tapi juga berperan sebagai sumber nilai kehidupan bagi individu dan masyarakat, sesungguhnya menginspirasi orang-orang yang memegang iman dengan tulus. Inspirasi itu kemudian dengan kemampuan akal kritis dapat mentransformasi karakter manusia apabila dipahami secara jeli. Menurut Muchlis, seseorang yang terbimbing oleh cara pandang agama akan menembus batas-batas formalisme agama dan batas-batas primordial lainnya yang kaku dan rigid–karena agama sejatinya adalah meletakkan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan bersama dengan yang lain. Kita tidak hanya berkhidmat kepada sesama, tapi juga merangkul yang lain sebagai bahasa iman.

Agama sebagaimana sudah disinggung di atas, bagi Muchlis adalah modal sosial dan politik dalam masyarakat multikultural. Dengan demikian, politik tidak hanya semata-mata mempertahankan dan meneruskan kekuasaan, tapi suatu upaya mewujudkan bahasa universal agama, yakni kemanusiaan. Dalam posisi ini, politik sebagai jalan perjuangan untuk membimbing masyarakat dengan nilai-nilai kemanusiaan yang bersumber dari agama dan tradisi adalah sesuatu yang mendasar dan mendesak. Mungkin saja dalam diri sebagian orang, agama dan politik adalah dua kutub yang terpisah jauh dan tak sering dipertentangkan. Memang politik dan agama adalah dua hal yang berbeda, yang satu adalah wahyu, yang lain adalah kreasi akal manusia. Namun dalam perjalanannya agama dan politik dapat bersinggungan dan membimbing serta memberikan kekuatan bagi masyarakat (***).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.