PILKADA Maluku Utara seringkali diwarnai dengan politik identitas, yang merupakan sebuah ironi. Mengingat provinsi ini memiliki sejarah panjang dalam keberagaman dan nilai budaya yang tinggi dalam menghargai adat dan agama masing-masing. Maluku Utara dikenal sebagai daerah kerajaan kesultanan yang mampu mengayomi semua golongan. Namun, politik identitas dapat menjadi ancaman serius terhadap budaya dan identitas keberagaman yang telah lama mengakar di negeri ini.
Keberagaman Maluku Utara
Maluku Utara adalah rumah bagi beragam suku, agama, dan budaya. Sejak zaman kerajaan kesultanan, daerah ini telah menjadi simbol kerukunan dan toleransi. Kerajaan kesultanan di Maluku Utara, seperti Kesultanan Ternate dan Tidore, Jailolo dan Bacan, memainkan peran penting dalam mempersatukan berbagai kelompok etnis dan agama. Nilai-nilai adat dan agama dihormati dan dijunjung tinggi, menciptakan harmoni yang kuat di antara masyarakat.
Budaya menghargai perbedaan ini telah menjadi bagian integral dari identitas Maluku Utara. Berbagai upacara adat dan perayaan keagamaan yang berbeda dapat berjalan beriringan. Inilah kekuatan utama Maluku Utara, yaitu kemampuan untuk hidup berdampingan dalam keragaman.
Sayangnya, dalam momentum Pilkada, terutama pemilihan gubernur 2024 ini. Politik identitas mulai merasuki. Padahal jika ini ditelisik lebih jauh, hanyalah strategi yang digunakan kelompok berkepentingan untuk meraih dukungan dengan mengedepankan identitas suku, agama, atau kelompok tertentu. Sayangnya ini sangatlah rawan memecah belah masyarakat dan menciptakan ketegangan di antara kelompok-kelompok yang berbeda. Dalam konteks Pilkada, politik identitas dapat berdampak negatif pada berbagai aspek. Pertama, politik identitas dapat memecah belah masyarakat yang sebelumnya hidup dalam kerukunan. Ketika calon pemimpin menggunakan isu identitas untuk memenangkan suara, mereka sering kali mengabaikan kebutuhan dan kepentingan bersama. Hal ini dapat mengakibatkan polarisasi di masyarakat, di mana kelompok-kelompok yang berbeda saling berhadap-hadapan.
Kedua, politik identitas dapat menghambat pembangunan. Ketika pemimpin terpilih lebih fokus pada identitas kelompok tertentu daripada kepentingan bersama, program-program pembangunan yang seharusnya bermanfaat bagi seluruh masyarakat dapat terabaikan. Sebagai contoh, program kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur mungkin tidak mendapatkan perhatian yang cukup karena perhatian lebih terfokus pada isu-isu identitas.
Ancaman terhadap Budaya dan Identitas Keberagaman
Politik identitas tidak hanya mengancam stabilitas sosial, tetapi juga merusak budaya dan identitas keberagaman yang telah lama mengakar di Maluku Utara. Nilai-nilai keberagaman yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dapat terkikis oleh narasi-narasi politik yang memecah belah. Ini adalah ancaman serius terhadap warisan budaya yang telah dibangun oleh nenek moyang kita.
Maluku Utara sebagai daerah kesultanan memiliki sejarah panjang dalam menyatukan berbagai golongan.
Kesultanan Ternate dan Tidore, Bacan dan Jailoli, telah lama menjadi simbol kerukunan dan persatuan di antara berbagai kelompok etnis dan agama. Namun, politik identitas dapat merusak warisan ini dengan memperkuat perbedaan daripada persamaan.
Untuk menghadapi ancaman politik identitas dalam Pilkada Maluku Utara, diperlukan langkah-langkah konkret yang melibatkan semua pihak. Pertama, pendidikan dan kesadaran masyarakat harus ditingkatkan. Masyarakat perlu diberikan pemahaman tentang pentingnya keberagaman dan bahaya politik identitas. Pendidikan tentang nilai-nilai toleransi dan kerukunan harus diperkuat, terutama di kalangan generasi muda.
Kedua, peran media tidak kalah penting dalam membangun narasi yang positif tentang keberagaman. Media harus bertanggung jawab dalam menyajikan informasi yang objektif dan tidak memihak. Berita-berita yang mengandung unsur provokasi atau memecah belah harus dihindari. Sebaliknya, media harus mempromosikan nilai-nilai keberagaman dan pentingnya kerukunan dalam Pilkada.
Ketiga, tokoh-tokoh masyarakat dan pemimpin agama juga memiliki peran penting dalam menjaga keberagaman. Mereka harus menjadi contoh dalam mempromosikan toleransi dan menghindari politik identitas. Dengan keteladanan mereka, masyarakat akan lebih mudah menerima dan mengadopsi nilai-nilai keberagaman.
Identitas Tidak Menjamin Kompetensi
Identitas calon pemimpin sering kali digunakan sebagai alat untuk meraih dukungan suara. Namun, identitas tidak dapat dijadikan ukuran untuk menilai kapabilitas dan integritas seseorang. Seorang pemimpin yang dipilih berdasarkan identitas saja berisiko besar tidak memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk memimpin daerah. Akibatnya, ketika menghadapi tekanan dan godaan dari pihak-pihak yang ingin memanfaatkan kekuasaan, mereka cenderung tidak mampu bertahan dan justru terjerumus ke dalam praktik-praktik korupsi.
Belajar dari kasus mantan Gubernur Abdul Gani Kasuba yang saat ini diadili atas kasus suap proyek infrastruktur, jual beli jabatan, dan izin pertambangan, kita dapat melihat betapa pentingnya memilih pemimpin berdasarkan kapabilitas dan integritas.
Kasus Abdul Gani Kasuba adalah contoh nyata pentingnya memilih pemimpin yang benar-benar memiliki kemampuan dan pengalaman yang terukur, sehingga tidak berujung pada bencana. Sebagai mantan gubernur AGK yang diharapkan mampu membawa perubahan positif bagi masyarakat Maluku Utara. Namun, kenyataannya, ia terjerat kasus korupsi yang merugikan negara dan masyarakat. Kasus tangkap tangan atas suap proyek infrastruktur, jual beli jabatan, dan izin pertambangan menunjukkan ketidakmampuannya sebagai pemimpin. Ketidakmampuan ini membuatnya mudah dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan, sehingga merugikan banyak pihak.
Memilih Berdasarkan Kapabilitas dan Integritas
Untuk mencegah kasus serupa terulang, masyarakat harus lebih cerdas dalam memilih pemimpin. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan:
Mengenal Calon dengan Baik**: Masyarakat harus aktif mencari informasi tentang calon pemimpin, termasuk rekam jejak, kapabilitas, dan integritas mereka. Media massa dan debat publik dapat menjadi sumber informasi yang penting.
Mengutamakan Program Kerja. Fokus pada program kerja dan visi-misi calon pemimpin. Pilihlah calon yang memiliki rencana konkret dan realistis untuk memajukan daerah.
Menilai Kinerja Sebelumnya
Jika calon pernah menjabat posisi publik sebelumnya, lihatlah kinerja mereka. Pemimpin yang berprestasi dan tidak terlibat dalam kasus korupsi layak untuk dipertimbangkan.
Menghindari Politik Uang dan Janji Palsu
Jangan terbuai oleh politik uang dan janji-janji yang tidak realistis. Politik uang merusak integritas pemilu dan menghasilkan pemimpin yang tidak bertanggung jawab.
Memilih pemimpin yang tidak kompeten berdampak buruk bagi masyarakat. Kasus Abdul Gani Kasuba menunjukkan bagaimana korupsi yang dilakukan oleh pemimpin dapat merugikan banyak pihak. Tidak hanya mantan gubernur yang menanggung risiko hukum, tetapi masyarakat juga ikut menjadi korban. Infrastruktur yang seharusnya dibangun untuk kepentingan masyarakat terhambat atau tidak sesuai standar karena dana yang diselewengkan. Jual beli jabatan menciptakan birokrasi yang tidak efisien dan korup. Izin pertambangan yang diberikan tanpa prosedur yang benar merusak lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Kesimpulan
Kasus Abdul Gani Kasuba adalah pelajaran penting bagi kita semua. Pemilihan kepala daerah harus didasarkan pada kapabilitas dan integritas calon pemimpin, bukan identitas. Masyarakat harus lebih cerdas dan kritis dalam memilih pemimpin untuk memastikan bahwa mereka yang terpilih benar-benar mampu membawa perubahan positif bagi daerah. Dengan demikian, kita dapat mencegah terulangnya kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan banyak pihak. Mari bersama-sama memilih pemimpin yang kompeten dan berintegritas demi masa depan yang lebih baik.