Plutokrasi “Cukong Politik” dan Masa Depan Halbar

  • Whatsapp
Halmahera Barat
Oleh : Tamin Hi. Ilan Abanun (Dosen Kebijakan Publik Fisip UMMU Ternate)

Oleh : Tamin Hi. Ilan Abanun (Dosen Kebijakan Publik Fisip UMMU Ternate)

Bupati James Uang di duga jadi boneka Pemodal,  demikian judul Berita yang di tulis oleh redaksi Halmaheraraya id, (Minggu, 4/9/22).

Judul berita ini mengingatkan kita pada sebuah opini yang di tulis oleh Ketua Jong Halmahera 1914, yang juga seorang Akademisi UMMU asal desa Guaemaadu Kec. Jailolo yakni Saudara M. Novrizal Amir, M.Kom, dengan judul : Bayangan Pulau Morotai di Halmahera Barat, yang dilansir oleh Tandaseru, Minggu, 12 Sep 2021.
Dalam opini tersebut Novrizal secara lugas menulis pernyataan Bupati James Uang saat menyampaikan orasi politik dalam Deklarasi Pasangan Jujur di Lapangan Sepak Bola Desa Galala Kec. Jailolo pada tanggal 5 September 2020.

Berikut ringkasan orasinya :

“SECARA terbuka saya harus sampaikan. Setelah saya berkomunikasi dengan Bupati Morotai, Benny Laos, Pak Benny Laos menyuruh saya dan Pak Djufri maju, karena Pak Benny Laos siap di belakang. Bupati Benny Laos adalah bupati terkaya di Indonesia ini. Jadi saya berdiskusi dengan Pak Djufri waktu di Jakarta dan menyampaikan, meskipun Pak Benny Laos membantu kami, tapi ketika kami terpilih jangan buru APBD di Halbar, karena itu milik masyarakat Halbar.”

Demikian Orasi Politik James Uang Saat Deklarasi (tanda seru, Minggu 12/9/2021.

Namun dalam perjalanan pemerintahan kurang lebih 2 (dua) tahun ini, yang pernah didengungkan dalam orasi politik saat deklarasi hingga kampanye sepertinya jauh panggang dari api, karena belakangan memunculkan diskusi dan perdebatan di. tengah masyarakat mengenai buruknya kipra politik dan manajemen pembangunan yang sementara di galakan.

Hal ini kemudian mendapat sorotan dari Anggota DPRD dari Partai PKS  atas nama Mahdin Husein, yang mengatakan bahwa Bupati James Uang diduga hanya menjadi representasi kepentingan rezim kekuasaan bagi para pemodal. Saat ini Bupati James Uang tidak lagi berkutik. Karena para pemodal sudah masuk ke dalam dan menginterfensi kerja Bupati. Baik Anggran PEN, DAK dan DAU. Bahkan Penyusunan KUA-PPAS serta Birokrasi pun sudah diatur oleh para pemodal. Bukan hanya itu, Dukumen APBD Tahun 2023 juga ditemukan banyak rancangan proyek-proyek yang tidak berpihak ke masyarakat, tapi berpihak kepada pemodal demi keuntungan kelompoknya.

Agar lebih clear, kita maknai dulu apa itu Plutokrasi dan Pemodal atau sering diistilahkan dengan cukong politik itu?

Sebuah negara tentunya memerlukan pemerintah atau sistem pemerintahan untuk menjalankan kepentingan di dalam dan luar negeri.

Ada banyak sistem pemerintahan di dunia, salah satunya adalah demokrasi yang dijalankan oleh rakyat dan untuk rakyat. Selain demokrasi, ada juga yang namanya plutokrasi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dituliskan jika plutokrasi merupakan sebuah sistem politik yang dilakukan dan dikuasai oleh sekelompok orang kaya atau kaum kapitalis (pemilik modal).

Sedangkan dalam Merriam-Webster, dijelaskan jika plutokrasi atau plutocracy adalah sistem pemerintahan yang dilakukan dan dikontrol oleh kaum kaya.

Maka dapat dikatakan jika plutokrasi memiliki keterkaitan erat dengan kekayaan atau uang. Karena penentuan pemimpin didasarkan pada seberapa banyak kekayaan yang dimiliki.

Menurut Nurul Akhmad dalam Ensiklopedia Penyelenggaraan Pemerintahan (2010), plutokrasi berasal dari Bahasa Yunani, yakni ploutos dan kratos. Ploutos berarti kekayaan. Sedangkan kratos berarti kekuasaan. Sistem pemerintahan plutokrasi bermula di Yunani. Sistem ini terus menyebar hingga ke Genova, Italia.

Sistem pemerintahan plutokrasi meyakini jika ingin mencapai suatu kepentingan tertentu harus mengeluarkan biaya tertentu yang mahal. Kepentingan tersebut juga mencakup kepentingan untuk mempertahankan kekayaan suatu negara.

Oleh karena sistem pemerintahan dijalankan dengan plutokrasi, maka sangat terlihat jelas adanya kesenjangan ekonomi yang sangat tinggi antara kaum kaya dengan kaum miskin.

Berikut adalah lima karakteristik atau ciri dari plutokrasi, yaitu:

1. Pemerintah lebih memperhatikan serta memenuhi kebutuhan para elit ekonomi atau kaum kaya.
2. Para penganut plutokrasi bisa mencabut amanah dari pemerintah yang telah terpilih.
3. Ellit ekonomi memiliki mekanisme tertentu, sehingga bisa membuat peraturan yang menguntungkan kaumnya.
4. Kekuasaan secara publik dikelola untuk kepentingan tertentu kaum elit ekonomi lokal.
5. Masyarakat biasa mau tidak mau harus mengikuti peraturan yang telah dibuat.

Sedangkan definisi cukong dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang mempunyai uang banyak yang menyediakan dana atau modal yang diperlukan untuk suatu usaha atau kegiatan orang lain, atau pemilik modal (Pemodal). Dalam kehidupan ekonomi politik Pemodal termasuk dalam golongan oligarki, koorporasi dan kontraktor.

Secara praktik metode yang digunakan para cukong untuk membajak demokrasi tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh VOC saat awal menguasai nusantara, yakni mengikat para raja atau sultan dimasa itu untuk menguasai lahan, perdagangan hingga pemerintahan, yakni dengan ikatan utang dan investasi dalam sirkulasi perebutan kekuasaan kerajaaan.

Dengan dibukanya kran otonomi daerah dan liberalisasi demokrasi pasca reformasi yang menggunakan model one man, one vote, one value, terutama sejak tahun 2005, maka perhatian dan fokus para cukong atau sponsor mulai mengarah pada realitas kuatnya feodalisme dan dinasti ekonomi, politik dan sejarah lokal, sebagai ladang baru dalam memaksimalkan kekuatan modalnya sekaligus menguasai asset dan sumber daya daerah.

Realitas demokrasi pemilihan langsung yang berbiaya tinggi adalah pintu masuk utama praktek sponsor dan cukong yang mendanai pasangan calon dalam Pilkada, dengan asumsi kemenangan Paslon yang dibiayai adalah jalan untuk mengeksploitasi kebijakan, proyek dan asset daerah, sebagai jalan untuk kepentingan akumulasi modal yang sebesar – besarnya.

DisInilah ruang investasi bagi cukong untuk masuk kepada Paslon, dengan sekian persyaratan kontrak atau kepentingan yang menciptakan perselingkuhan antara pemerintah dan pemodal.

Seperti yang disampaikan oleh  Kristian R Simarta (artikel, 30/9/2920, bahwa dalam hubungannya dengan perselingkuhan antara pemerintah dan Pemodal itu berupa Proyek pembangunan strategis, pengadaan barang dan jasa, tukar guling asset hingga pergantian kepala dinas akan dikuasai dan dikelola oleh para pemodal, bahkan cenderung telah melakukan kaplingan proyek pemerintah yang didanai dari APBD. Walaupun tender dilakukan dengan model terbuka dan menggunakan sistem elektronik, namun peluang monopoli proyek tetap bisa diatur seperti biasanya. Sehingga Pilkada sebagai manifestasi demokrasi rakyat dalam menentukan pemerintahan yang terdekat dengannya, justru berubah menjadi panggung para oligarkhi lokal dan pemilik modal dalam berebut kekuasaan untuk kepentingan masing-masing kelompok.

Dalam kondisi seperti ini, rakyat hanya dijadikan sebagai stempel formalitas pemberian mandat memerintah, karena tinggi atau rendahnya partisipasi masyarakat bukanlah faktor penentu. Yang menjadi penentu pemenang Pilkada adalah hitungan jumlah suara masuk dan sah, bukan angka partisipasi atau keterlibatan pemilih.

Harapan kita akan lahirnya demokrasi yang patisipatif dan responsif sebagai jembatan menuju keadilan dan kesejahteraan, sulit diwujudkan dan sepertinya dibiarkan berubah ke arah plutokrasi, yakni sistem kekuasaan yang dikendalikan oleh segelintir pemilik Modal.

Akibat nyata dari merebaknya plutokrasi dalam Pilkada adalah pemerintah daerah yang seharusnya menjadi ujung tombak negara dalam memenuhi hak masyarakat justru menjadi ujung tombak kaum pemodal dalam melakukan eksploitasi sumber daya daerah, sesuatu yang jauh dari semangat otonomi daerah.

James Uang Boneka Pemodal, benarkah?

Bupati atau walikota  boneka adalah bupati atau walikota yang dipilih oleh mayoritas pemilih kemudian di Lantik dan ditetapkan sebagai Bupati sesuai dengan peraturan perundang undangan, namun secara de-facto berada di bawah bayang – bayang dan kontrol pemodal. Bupati boneka secara harfiah berarti Bupati di mana kekuasaan dan kewenangannya dapat disamakan seperti boneka yang dimainkan oleh pemodal sebagai dalang.

Kekuasaan dan kewenangan Bupati boneka biasanya sangat tergantung kepada pemodal terutama dalam hal politik, kebijakan, ekonomi, dan lainnya. . Ini menyebabkan Bupati biasanya tidak mempunyai legitimasi cukup baik dalam pengambilan kebijakan karena disetir  dan diintervensi oleh pemodal.
Hal ini biasa terjadi karena saat sang Bupati maju dalam Pilkada di ongkos oleh pemodal, sehingga  saat terpilih tidak menjadi pemimpin yang otentik. Banyak daerah daerah maju di Indonesia yang demokrasinya sudah bagus, tak ingin ada pemodal yang memanfaatkan calon pemimpin untuk tampil dalam pilkada, dan kemudian menjadi boneka bagi pemodal saat terpilih. ” Karena hal tersebut berdampak buruk pada keberlanjutan pembangunan di daerah dan kepentingan rakyat pun ikut terancam dan  tak terwakili. “Karena Bupati (pemimpin) hanya mementingkan pemodal yang sudah mengeluarkan dana dalam pilkada.
Jika seperti ini sosok pemimpin, sangat tidak ideal.

Seorang pemimpin harusnya cerdas, berinisiatif, bertanggung jawab, dapat dipercaya, jujur, rela berkorban, dicintai dan mencintai rakyat. Dan yang terpenting bisa mewujudkan keinginan rakyat untuk hidup dalam kesejahteraan dan berkeadilan.

Serta Orientasinya bukan golongan tetapi masyarakat secara keseluruhan,” .”Atau dengan bahasa sederhananya Bupati yang merakyàt dan paham umat,” Namun hal ini bertolak belakang dengan fakta di Halmahera Barat, pasalnya Bupati Halmahera Barat: James Uang oleh Anggota DPRD Mahdin Husein menyebutkan
sebagai Bupati  boneka oligarki dianggap tidak mengurus rakyat daerahnya sendiri. Sikapnya jelas tidak ada keberpihakan terhadap rakyat.

Anggota DPRD; Mahdin Husein
Bahkan sangat meragukan atas kerja-kerja James Uang. Karena di pemerintahannya ada rezim pemodal dan James Uang hanya dijadikan sebagai boneka para pemodal (halmaheraraya id, Minggu (04/09/2022).

Mahdin Husein juga menilai kepemimpinan James Uang tidak akan membawa perubahan apapun bagi Halbar, terutama kepentingan masyarakat luas. Bahkan ia mengkhawatirkan kondisi Halbar ke depan bukan tambah baik tapi tambah suram. Karena hutang pihak ketiga semakin bertumpuk. Karena sekarang ini, James Uang lebih banyak sibuk melayani dan mengurusi pemodal dibandingkan melayani masyarakat. Mahdin Husein akhirnya menantang juga Bupati Halbar James Uang untuk membuktikan kerjanya semata-mata demi kepentingan masyarakat Halbar bukan demi kepentingan pribadi maupun kelompok rezim pemodal.

Bagaimana dengan masa depan Halbar?

Halmahera Barat, jika mengikuti  UU Nomor 60 tahun 1957 tentang penetapan UU Darurat Nomor 23 Tahun 1857 Tentang Pembentukan daerah – daerah Swatantra Tingkat II dalam wilayah daerah Swatantra Tingkat I Maluku, berarti Kabupaten Halmahera Barat sudah berotonom kurang lebih 65 tahun. Ibarat manusia, umurnya sudah cukup tua. Itu artinya Halbar tidak bisa disamakan dengan kabupaten – kabupaten lain di Maluku Utara karena usia daerah – daerah tersebut baru menginjak kurang lebih 20 tahun, usia yang masih muda bila di bandingkan dengan Halbar.  Halbar adalah sebuah daerah pemndahan dari kabupaten Maluku Utara yang beribukota di Ternate ke Halmahera Barat yang beribukota di Jailolo. Sementara daerah – daerah lain seperti Haltim dan lainnya adalah hasil pemakaran pada tahun 2003.

Oleh karena itu, Halbar seharusnya lebih matang dari kabupaten – kabupaten yang baru terbentuk itu, baik dalam berpemerintahan, berkeuangan dan  pembangunan.

Hal ini penulis sengaja cantumkan agar Pemda tidak main – main dalam membangun Halmahera Barat.
Tingkat  kecerdasan Pemda saat ini harus melebihi Pemda masa lalu khususnya dalam soal monumental decission karena hal itu bukan hanya sekedar catatan sejarah kosong. Berkat keunggulan decission maka terbentuklah Halmahera Barat yang berdiri kokoh hingga hari ini. Oleh karena itu kita butuh kecerdasan lebih untuk merajut menjadi modal sosial terwujudnya masa depan Halmahera Barat yang gemilang.

Namun pertanyaannya, apakah kita sanggup wujudkan itu, sementara kita berada ditengah problem yang mendera, mulai dari masalah besar seperti Hutang pihak ke tiga yang menggunung, ketidakadilan pembagian proyek untuk putra daerah, kelangkaan obat, proyek jalan yang belum diselesaikan bahkan ada yang belum juga dikerjaka dan lain ,- lain, hingga masalah kecil seperti pembayaran honor panitia Pilkades yang tertunda, dan lain sebagainya.

Ada apa dengan Halmahera Barat?

Apakah tidak ada pandangan yang unggul dan visioner bagi daerah ini guna menembus tantangan masa depan?
Atau apakah ini akibat dari pernyataan Bupati James Uang dalam orasi politiknya saat deklarasi Pasangan calon Jujur hingga kampanye yang membenarkan adanya aliran dana dari Pemodal, sehingga daerah saat ini harus tunduk dan harus mengikuti kehendak pemodal ?

Apapun kondisinya, dalam tulisan ini penulis tidak menyimpulkan apa – apa,  biarlah pembaca sendiri yang menyimpulkan seperti apa kondisi daerah ini dan sepak terjang Bupati, penulis cukup menghadirkan permasalahan mendasar dan masalah terkini daerah, sorotan anggota DPRD dan kemudian mencantumkan pula konsep, tinggal bagaimana pembaca membaca, mencermati, menganalisis sendiri kemudian menyimpulkan seperti apa kondisi daerah saat ini, lebih khusus lagi terkait dengan dugaan anggota DPRD Mahdin Husein terhadap bupati James Uang yang di duga sebagai boneka pemodal.

Namun dalam nota kecil ini, penulis ingin sampaikan bahwa inilah pembelajaran demokrasi buat daerah – daerah yang Pemimpinnya dalam pelaksanaan Pilkada mengandalkan penuh kepada pemodal atau cukong politik itu.

Dan perlu diingat baik – baik, tindakan Bupati dalam memprioritaskan pemodal merupakan tindakan
KKN. Meskipun hal ini merupakan sebuah bentuk balas budi tapi jika hanya mengutamakan pemodal dan mengabaikan rakyat, telah tergolong KKN sehingga lembaga negara yang berkompeten seperti Menkopolhukam dan KPK harus menyoroti hal ini.

Hal ini penulis tekankan, karena dalam pandangan Penulis dan bahkan kita semua telah merasakan bahwa Kehadiran Pemda saat ini  untuk melayani kepentingan diri dan para cukong politik. Bahkan menghalalkan segala cara untuk melanggengkan kekuasaan dan mempertahankan status quo.

Padahal kata Ambraham Linclon  pemerintahan itu berasal dari rakyat dan jalankan oleh rakyat maka hasilnya pun seyogyanya untuk kemaslahatan masyarakat secara kolektif.

Namun dalam konteks Halbar, saya mengutip Budi Kleden bahwa preposisi “dari” dan “oleh” dalam defenisi demokrasi yang dicetus Lincoln memang sudah diejawantahkan namun preposisi “untuk” (baca: rakyat) belum diejawatahkan. Preposisi “untuk” malah lebih dominan berorientasi kepada kesejahteraan diri para penguasa dan para cukong (Kleden, Bukan Doping Politik).

Oleh karena itu untuk mewujudkan Halmahera Barat ke depan yang lebih gemilang kita semua harus menjadi lokomotif perubahan. Saya kira ini adalah sangat tepat untuk mission etik Pemda dan DPRD. Jangan bertanya apa yang Halmahera Barat dapat berikan kepada saya, tapi tanyakanlah apa yang dapat saya berikan kepada Halmahera Barat, mungkin kalimat ini pantas bagi kita sebagai derivasi dari kalimat J.F. Kennedy: ‘not ask what the country can for you, but ask what can you do for your country ‘. Karena atas nama rakyat juga para pemimpin negeri ini bisa hadir di gedung megah, tidak untuk sekedar mencari makan siang gratis.

Akhirnya, Heraklitos berkata ‘pancta rei’, semuanya mengalir. Tidak ada sesuatu yang abadi terkecuali perubahan itu sendiri.   Marilah menyongsong perubahan dengan kebijakan,- kebijakan terbaik untuk kemajuan Halmahera Barat kedepan yang lebih baik lagi. Semoga saja nota kecil ini menjadi pengasah nurani bagi kita. Selamat berbakti, selamat berjuang untuk Halmahera Barat……!

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.