TOBELO,HR —-Proses hukum seputar hasil Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Halmahera Utara (Halut) yang kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) kali ini dalam pandangan pengamat Hukum Tata Negara Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhamadiyah Maluku Utara (UMMU) Ternate, Dr. Abdul Aziz Hakim, SH, MH dianggap ganjil.
Ada beberapa alasan menurutnya, yaitu Pertama, aspek eksekutorial kelembagaan untuk melaksanakan putusan Mahkamah.
Menurut Abdul Azis Hakim bahwa berdasar konstruksi putusan Mahkamah Konstitusi No. 57/PHP.BUP/XIX/2021, khususnya pada amar putusan angka 5 secara pasti memberikan perintah kepada KPU Halmahera Utara sebagai adresat utama atau lembaga utama untuk melakukan eksekusi terhadap putusan a quo.
Dalam konsep pelaksanaan putusan tentu saja KPU Halut wajib mengeksekusi putusan Mahkamah tersebut, karena tanpa eksekusi putusan tersebut maka akan tidak bernilai sama sekali di mata hukum. Sebab posisi putusan MK tidak seperti putusan-putusan lembaga yudisial lainnya semisal peradilan di lingkungan Mahkamah Agung yang punya perangkat kelembagaan untuk melakukan eksekusi terhdap putusan yang bersifat eksekutorial. “Nah atas problem tersebutlah Mahkamah Konstitusi sangat membutuhkan kesadaran dari lembaga-lembaga yang dikenal sebagai adresat atau subjek hukum yang diperintahkan dalam amar putusannya untuk melakukan eksekusi, demi penegakan hukum yang akuntabel. Tanpa ini, eksistensi putusan Mahkamah Konstitusi tidak ada artinya dalam sistem penegakan hukum terutama putusan-putusan hukum yang bersifat beschikking. ” jelas Abdul Azis Hakim, Rabu (25/05/2021).
Maka berdasar konsep inilah, Azis katakan ganjil atas penerapan sistem penyelesaian sengketa khususnya dalam kasus PSU Kabupaten Halmahera Utara, karena itu, sifatnya kasuistik jadi tidak general. Logika hukum ini juga agak aneh jika pendekatannya dilihat dari sifat putusan Mahkamah Konstitusi final dan mengikat.” Pada aspek ini, Mahkamah harusnya memberi apresiasi kepada KPU Halmahera Utara karena telah melaksanakan putusannya dengan baik.” Ujarnya.
Diakatakannya dalam kasus sengketa PSU ini, terlihat kekuatan putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat tersebut justru tidak terlaksana karena tindakan Mahkamah Konstitusi sendiri. Dalam konteks ini, justru menurut Azis, Mahkamah Konstitusi terkesan tidak taat atas kewenangannya sendiri, alasannya karena tindakannya memproses lebih lanjut dugaan pelanggaran atas pelaksanaan PSU pada Pilkada Halmahera Utara tersebut. Hal ini dapat di lihat bahwa ternyata dampak dari putusan mahkamah sebagaimana amar putusan angka 5 yang telah dilaksanakan oleh KPU Halmahera Utara, justeru dianulir kembali oleh Mahkamah sendiri. ” Dalam pandangan saya justeru ini akan menjadi preseden buruk bagi eksistensi Mahkamah Konstitusi terkhusus dalam menegakkan pelaksanaan putusan Mahkamah. Saya menilai ini satu kemunduran dalam sistem penegakkan sengketa hukum kepemiliuan sebagaimana amanah konstitusi.” Katanya.
Pakar Hukum Tata Negara UMMU dan Unkhair Ternate ini menilai bahwa tindakan mahkamah ini patut dikritisi karena cenderung tidak sejalan dengan prinsip-prinsip konstitusional yang ada. “Mahkamah Konstitusi seakan mau menabrak eksistensinya sendiri sebagai lembaga peradilan pertama dan terakhir dalam memutuskan perselisihan hasil Pilkada.” Imbuhnya.
Lebih lanjut Azis mengatakan seharusnya berdasar amar putusan a quo angka 5 untuk memberikan kepastian hukum kepada KPU Halmahera Utara sebagai adresat utama untuk mengeksekusi putusan MK sebagai hasil putusan yang final tanpa harus memberikan ruang untuk upaya hukum kembali kepada pihak-pihak yang merasa dirugikan. “Justru dengan memberikan ruang maka eksistensi Mahkamah tidak bedanya seperti peradilan umum yang putusannya bisa dilakukan upaya banding. Jika seperti ini maka model penegakan hukum di Mahkamah Konstitusi tidak lagi sakral sebab kecenderungan putusannya yang final tersebut, bisa anulir oleh Mahkamah Konstitusi sendiri, jadi dalam kasus ini terkesan putusan Mahkamah bisa dibanding kembali, karena sifat finalnya cenderung tidak berlaku lagi.” Bebernya.
Azis menambahkan keganjilan proses hukum seputar PSU di Kabupaten Halmahera Utara oleh Mahkamah Konstitusi tersebut lebih-lebih karena lembaga ini memberikan perintah dalam putusannya kepada KPU Halmahera Utara untuk melakukan pelaksanaan PSU lalu mengumumkan berdasar peraturan perundang-undangan tanpa harus melaporkan kepada Mahkamah. ” Jadi kata tanpa harus melaporkan kepada Mahkamah, inilah saya kira Mahkamah Konstitusi memberikan kewenangannya kepada KPU sebagai adresat utama untuk menyelesaikan tahapan PSU.” Ucapnya.
Atas perintah Mahkamah tersebut Azis menilai KPU sebagai penyelenggara telah membuat norma khusus untuk menyelenggarakan tahapan PSU. “Dalam konteks ini saya kira tindakan KPU Halmahera Utara sebagai adresat utama patut diapresisi karena komitmennya dalam melaksanakan putusan Mahkamah, bukan kemudian disalah-salahkan oleh Mahkamah seperti pada proses persidangan yang digelar beberapa hari yang lalu.” Tukasnya.
Azis menegaskan tindakan Mahkamah untuk menggelar proses PSU ini terkesan Mahkamah tidak komitmen dengan putusannya sendiri. Sikap ini tentu melahirkan interpretasi yang macam-macam oleh publik terhadap eksistensi Mahkamah dalam menyelesaikan kasus ini. Interpretasi tersebut salah satunya adalah karena sikap Mahkamah cenderung tidak melaksanakan putusannya yang jelas-jelas telah berkepastian hukum tetap jika dilihat dari amar putusannya. “Saya andaikan, misalnya dalam proses penyelesaian hasil PSU ini Mahkamah menerima permohonan lalu kemudian memutus PSU jilid 2, maka bayangkan sistem penyelesaian sengketa ini sangat berbelit-belit dan tidak ada kepastian hukum. Mau sampai kapan sengketa ini akan selesai karena akan ada PSU berulang-ulang digelar karena ruang gugatan dibuka lebar oleh Mahkamah,” tandasnya.
Mantan Dekan FH UMMU ini menyebutkan kasus sengketa Pilkada Halut ini memberikan catatan bahwa ternyata putusan MK tidak berkekuatan hukum final dan mengikat karena masih ada upaya hukum lanjutan pasca pelaksanaan PSU. Pengandaian proses hukum ini karena dasarnya adalah sikap Mahkamah yang terlanjur memberikan ruang sengketa lanjutan atas putusan finalnya, karena akan dijadikan jurisprudensi bagi para pihak yang bersengketa pada PSU atau Pilkada ke depan. ” Menurut saya, bahwa putusan Mahkamah atas PSU sengketa Pilkada Halut tidak dapat ditarik pada tahapan normal, sehingga pelaksanaannya penyelesaian sengketa PSU digeneral pada level norma secara normal.” ujarnya.
Menurut Azis, dalam konteks kasus PSU Halut, harusnya Mahkamah memberikan kewenangan full kepada KPU Halut untuk melaksanakan tahapan berdasar regulasi yang diaturnya. Tentu regulasi tersebut merupakan norma baru dan khusus atas tahapan PSU berdasar amar putusan Mahkamah yang final tersebut. “Kasus PSU Halut justeru dianggap ganjil sebab kewenangan KPU sebagai regulator atas penyelenggaraan Pilkada terkesan diambil alih oleh Mahkamah dengan membuat satu tahapan penyelesaian sengketa hasil Pilkada (PSU) lanjutan yang tentu tidak diatur secara spesifik, baik dalam putusan Mahkamah maupun tahapan PSU oleh KPU Halut.” Katanya
Azis yang juga Ketua APHTN/HAN Malut ini berpandangan justru dalam konteks ini, logis jika kemudian ada kepala daerah terpilih hasil PSU sampai dilantik karena telah melaksanakan tahapan sebagaimana norma khusus yang telah ditetapkan oleh KPU Halut. ” Terdapat kekacauan sistem penegakan hukum dalam kasus PSU Pilkada Halmahera Utara.” Pungkas Doktor jebolan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini mengakhiri komentarnya (mn).