SAGEA

  • Whatsapp
Muhlis Ibrahim Koordinator KATAM Maluku Utara

Oleh : Muhlis Ibrahim Koordinator KATAM Maluku Utara

“Sungai yang keruh adalah sebuah anomali. Sungai yang keruh adalah sebuah antagonisme”.

JIKA bukit tidak lagi ada untuk hujan, dan hutan tidak lagi berfungsi untuk menyerap dan menyimpan, maka ada kekuatan keji yang bekerja di mana hutan raib dan tebing hilang.
Bidang bumi yang paling vital itu telah dieksploitasi oleh kekuatan yang tak nampak tapi jahat dan ganas. Ada semacam kekonyolan, di mana kombinasi antara kebakhilan dan ketamakan yang menyebabkan hutan gundul, sungai yang jernih berubah menjadi keruh. Dan pada akhirnya nasib masyarakat di sekitar seperti ranting kering yang menanti patah.
Sagea, adalah cerita tentang investasi yang rakus dan hasrat eksploitasi yang tak jera. Di mana hasil dari semua itu pada akhirnya menghimpun sebuah daya yang membalik dan destruktif: semula dengan gemuruh manusia mengalahkan alam, tapi kini ia seperti tak berdaya di depan alam yang hampir hancur.
Sagea adalah kisah tentang para pejabat penjaga peraturan yang telah tidur selama bertahun-tahun, pemimpin-pemimpin yang tak bergerak karena kekenyangan suap, juga pejabat yang bodoh atau abai, tak melakukan apa-apa.
Rakyat marah, aktivis protes, media menulis. Selebihnya tak berdaya dan diam, lalu lupa. Mungkin akan ada orang yang masih terus marah, tahu bahwa banjir dan sungai yang hancur ini adalah anak haram birokrasi korup, investasi yang busuk dan bisnis yang tamak, tapi mereka marah bersendiri. Mereka akan memaki-maki di gagang telepon atau di warung kopi yang riuh, dengan sejumlah teman dan, setelah itu, merasa tak berdaya dan terdiam. Mungkin karena orang-orang tak mengharap bahwa polisi, jaksa, dan hakim akan menghukum para pelaku kerusakan sungai Sagea. Sebab kita semua tahu dengan persis bahwa untuk menghentikan persekutuan jahat itu akhirnya harus ada sebuah alat: kekuasaan. Tapi sudah bertahun-tahun kita hidup dengan asumsi bahwa kekuasaan adalah sesuatu yang jauh dan ajaib, bukan sesuatu yang bisa diproduksi oleh proses politik.
Maka kita pun harus menempuh cara lain dengan ketidakkuasaan. Terkadang dalam bentuk doa, terkadang dalam petuah budi pekerti. Seakan-akan kerusakan lingkungan yang terjadi adalah sesuatu yang tak bisa diterangkan, yakni ia bukan sebuah problem, melainkan sebuah misteri. Seakan eksploitasi yang rakus, suap dan persekongkolan tak bisa ditelaah sebab dan strukturnya, tapi diduga bersembunyi, sebagai akhlak yang bernoda, di lubuk hati. Seakan-akan untuk lepas dari kerusakan lingkungan sekarang kita hanya bisa dibisiki dan diangkat oleh yang gaib.
Menghadapi krisis lingkungan tentu memerlukan kekuatan bersama untuk mengatasinya. Tapi korporasi dan birokrat yang korup telah menghancurkan apa saja yang bersama itu. Semacam tercipta fragmentasi: sebuah masyarakat yang bukan masyarakat, sehimpun orang ramai yang berhubungan satu sama lain tapi saling tak mempercayai, karena bahkan kepercayaan telah jadi komoditas. Maka bisakah kita akan saling mempercayai ketika krisis merundung dan harus diatasi?.
Sagea, adalah mereka yang kini ketakutan mendengar petir dan memandang mendung, seolah-olah itu adalah isyarat buruk dari langit. Sebab setiap kali hujan turun, mereka tahu apa yang akan terjadi: air sungai kembali cokelat, rumah dan kebun terendam banjir yang mungkin lebih luas dan deras.
Sagea adalah mereka yang dibuat tidak berdaya. Desa yang rentan dan ketakutan di bawah hujan. Masyarakat memang layak gentar kepada alam yang masih agung dan misterius. Tapi Sagea: ia lumpuh bukan di hadapan gempa tektonik yang besar, bukan puting beliung yang bengis, juga bukan tsunami.
“Pelaku usaha yang penuh syukur, rakyat jelata tawakal”. (***)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.