Beny Benawan dan Masterpiece Tidore

  • Whatsapp

RUMAH tua di pusaran kelurahan Tuguwaji Tidore ini berdiri dalam sunyi. Atapnya mulai berwarna coklat tua. Dindingnya memucat dengan banyak retakan. Kusen pintu dan jendela tertutup rapat. Sudah lama rumah itu tak lagi berpenghuni. Di halaman depan, sebuah rumah makan menghalangi pandangan dari jalanan. Orang ramai ikut melupakan.

Padahal di awal tahun 80an, rumah ini mirip bioskop tak berbayar. Saban malam orang tumpah ruah. Kebanyakan dari mereka adalah lelaki berumur. Sebuah televisi besar bermerek national yang terletak di ruang tengah jadi magnet utama. Yang tak kebagian masuk terpaksa menonton lewat jendela yang terbuka lebar. Ini satu-satunya rumah dengan televisi di perkampungan itu. Acara yang paling ditunggu adalah “Dunia Dalam Berita” punya TVRI.

Di sudut ruangan, tuan rumah duduk membisu menikmati siaran tv. Tak ada percakapan. Sosok pendiam itu terkesan elusif. Orang-orang enggan bertegur sapa. “Jika diajak bicara dengan topik yang menarik, Om Beng akan banyak bercerita” kenang Tamrin Husain, tetangga rumah yang saya temui usai taraweh di rumahnya yang bersebelahan dengan kantor KPU Tidore. Tamrin mungkin jadi satu-satunya anak muda Tuguwaji yang rutin mengobrol dengan Om Beng pada masa itu. Topiknya beragam. Kadang pertemuan itu diselingi permainan gitar dari tuan rumah sambil menata notasi lagu-lagu ciptaannya.

Nama Beng – saya menuliskan dengan Om Beng sebagai penanda katakziman – sendiri terbilang misterius. Saya menemukan nama ini di sampul album “Ana Bawat” punya Loela Drakel. Dalam rekaman kaset berpita itu, penyanyi dengan ribuan lagu pop daerah Maluku Utara ini menyanyikan lagu “Balibunga” ciptaan Om Beng. Lagu ini bercerita tentang seorang penguasa yang memilih hidup sederhana bersama rakyat.

Sio kona balibunga
To hoda ngona ri gai yo gogoru
Na susah mega e balibunga
No soka goka dadi la panyake

Saat merekam lagu ini, Loela mengaku tak tahu siapa Om Beng. Belakangan baru nama Om Beng diakrabinya sebagai pencipta lagu daerah Tidore. Meski begitu, Ia sangat mengagumi semua lagu ciptaan ciptaan Om Beng. “Bagi saya, beliau adalah pencipta lagu daerah terbaik yang karyanya pernah saya nyanyikan”. Lagu-lagu Om Beng selalu akrab dengan keseharian. Bercerita tentang hal-hal sederhana. Kaya dengan pesan kehidupan. Notasinya tak rumit. Ada kesesuaian yang transenden antara lirik dan notasi.

Lirik sebuah lagu mewakili sesuatu yang personal. Biasanya menggambar suasana hati penulisnya. Ada rasa sedih, kecewa, jatuh cinta, takjub, bersyukur atau pesan-pesan moral yang bermaksud memperbaiki kemanusiaan. Ia jadi pedestal untuk hidup yang akan datang. Karena itu, lirik adalah kekuatan utama sebuah lagu untuk melintasi masa. Sebuah lagu akan abadi jika liriknya tak terjebak pada ruang dan waktu. Apalagi didukung oleh notasi yang menghidupkan harmoni.

Simak lirik lagu “Tosari Laha” yang dipopulerkan oleh Thae Umar.

Mote mote nyinga ma baja
Gosa bada dadi sengsara
No susa mega fira Jou makawasa
Sonyinga sone nage yo palihara

Lirik dan notasi angka lagu ini hasil tulisan tangan Om Beng saya dapatkan dalam sebuah buku lagu tua yang sudah dimakan rayap. Robek di beberapa halaman. Buku ini disimpan Tance Benawan. Puteranya yang sering mengikuti Om Beng bekerja hingga ke Halmahera. Tance memiliki kemampuan bermain gitar namun kita lebih mengenalnya sebagai kiper tangguh Persis Soasiu. Adalah Erik Benawan – anak almarhum Tance – yang menunjukan buku lagu berisi puluhan karya Om Beng ketika kami bertemu di Tidore.

Lagu “Tosari Laha” sebenarnya berjudul “Sengsara”. Sarat akan pesan kehidupan. Lagu ini jadi pengingat jika hidup kadang mirip roda pedati. Ada periode penuh kesulitan dan ada yang bergelimang kesenangan. Di titik itu, hasrat dan ambisi kadang jadi dominan, Kita lalu melupakan nasehat dan mengabaikan kuasa Tuhan. “tosari laha toma oras ena ne. susa folio fo tero”. Lewat kekuatan lirik dan musikalitas Tidore yang kental, Om Beng selalu hadir lewat music sebagaimana kata Kahlil Gibran ; musik adalah adalah bahasa roh. Ia membuka rahasia kehidupan yang membawa kedamaian.

Banyak penyanyi dan grup band yang hadir sesaat. Satu dua lagunya viral dan didendangkan orang ramai. Tapi yang seperti itu tak lama. Liriknya yang biasa-biasa saja membuat lagu itu mudah terhapus dari ingatan orang jika ada lagu baru yang lebih menggoda dari sisi musikalitas. Ini berbeda dengan lagu-lagu Bimbo atau Koes Plus yang sangat membekas dan tak hilang dari peradaban. Juga lagu-lagu berbahasa Tidore punya Om Beng.

Om Beng adalah nama panggilan dari Beny Benawan – putera dari Bek Tek Seng. Om Beng lahir di Soasiu 22 Juli 1931. Saya menduga Bek Tek Seng yang akrab dipanggil warga dengan sebutan “Nyong Seng” adalah turunan dari imigran China pertama yang datang ke Tidore pada masa pemerintahan Sultan Al Mansur. Jejak kedatangan bangsa China di Tidore dapat dilihat pada situs Soasiu. Di situs bawa air yang terletak pada kedalaman 10-15 meter itu – terletak di pantai depan benteng Tahula – terdapat banyak keramik asal China berupa mangkok biru putih, piring bermotif flora fauna dan keramik bermotif pemain musik dengan alatnya.

Keramik-keramik itu berasal dari zaman Dinasti Ming atau pada masa pemerintahan Kaisar Wan Li (1572 – 1620). Ada juga situs Tongwai yang menunjukan jejak kedatanga bangsa China di Tidore. Beberapa manuskrip sejarah Maluku menyebut, kedatangan bangsa China bahkan terjadi jauh sebelum itu. Sejarawan Universitas Khairun Ternate, Irfan Ahmad menyebut, orang China menamakan Tidore dengan “yixi” atau “yiqi”. Penamaan ini berkaitan dengan kontribusi Tidore yang sangat besar dalam perdagangan cengkih dunia yang telah berlangsung sejak masa Dinasti Sung (960 – 1279).

Imigran China umumnya ke Tidore untuk berdagang. Mereka membarter keramik, tenunan dan sutera dengan rempah-rempah terutama cengkih yang jadi komoditas utama Tidore pada masa itu. Sebagian dari imigran itu kemudian menetap. Mereka hidup berbaur tanpa sekat dengan komunitas asli Tidore. Di Soasiu yang berarti “Sembilan Negeri” itu, komunitas China mendiami sebuah pemukiman dekat Istana Sultan yang dinamai Soa China. Di sinilah Nyong Seng lahir dan tumbuh.

Nyong Seng kemudian menikahi seorang perempuan asli Soasiu. Salama Hamisi namanya. Kerabat dekat memanggilnya “Nene Lama”. Ia sehari-hari bekerja di lingkungan Istana Kesultanan Tidore. Dari ibunya, Om Beng belajar bahasa Tidore. Ia juga tumbuh di komunitas “native speaker” atau penutur jati dimana bahasa pertama seorang anak diperoleh dari keluarga dekat terutama Ibunya. Guru Besar Antropolinguistik Universitas Khairun Ternate, Gufran A. Ibrahim menyebut “belajar” dalam komunikasi di komunitas penutur jati lebih pada semacam proses “memperoleh”. Itu sebabnya, orang akan lebih mudah menguasai sebuah bahasa jika hidup dalam komunitas itu selama beberapa waktu.

Tanpa latar sosio-antropolinguistik, akan sulit membayangkan seorang lelaki China yang belajar musik secara otodidak terutama lewat gitar mampu menuliskan lirik lagu yang kaya dengan kebijaksanaan hidup. Lagu-lagu Om Beng selalu menggunakan filsafat logika dengan sentuhan “bobeto” yang menggetarkan. “Ora talu kie madorari suba. Borero kira mote kore malinga”. Lirik pembuka lagu “Borero” ini sangat puitis. “Bulan di balik awan, tangan(ku) bersedekap menyembah. Sebuah pesan menghilang mengikuti jalannya angin”.

Semiotika liriknya butuh pemahaman yang melampaui segala sesuatu yang tersirat. Begitu pula dengan lirik dalam lagu “Naro Oti” yang menceritakan aktivitas nelayan yang mengayuh sampan. Melaut untuk menghidupi orang-orang terkasih. Karenanya ada janji untuk tidak melupakan dan kembali. Sederhana namun sarat dengan kebajikan. Amaran serupa dapat kita temui dalam lagu-lagu Om Beng yang lain semisal ; Garaki, Jojaru Koli, Tosa, Isenga Kau Singina, Tohoru Riuro Duka dan masih banyak lagi. Lagu “Borero” dan “Naro Oti” oleh keluarga dan beberapa seniman Tidore diklaim sebagai ciptaan Om Beng.

Penguasaan bahasa Tidore yang fasih juga membuat Om Beng mudah bergaul dengan siapa saja. Ia tak terjebak pada sekat kultural. Om Beng aktif dalam berbagai kegiatan kepemudaan. Menurut Tamrin Husain, saat Presiden Soekarno datang ke Tidore dan berpidato membakar semangat untuk merebut Irian Barat, tanggal 1 Agustus 1957, Om Beng ada di sana dan menyimaknya dengan nasionalisme yang bergolak. Ia bahkan bergabung dalam resimen “Pemuda Pattimura” yang bergerak membakar semangat warga Tidore untuk merebut wilayah yang dulunya adalah daulat Kesultanan Tidore itu.

Usai masa revolusi itu, Om Beng bekerja secara mandiri. Ia punya usaha bengkel dan mobil angkutan. Kemampuan Om Beng mengoperasikan berbagai jenis alat berat membuatnya dikontrak sana-sini. Banyak perusahaan kayu menggunakan jasanya. Ia juga seorang surveyor yang pandai “membaca” hutan Halmahera. Berbulan-bulan Ia berada di pedalaman Halmahera. Namun Tidore selalu jadi tempat Ia pulang. Om Beng sempat jatuh cinta pada perempuan asli Tidore sebagaimana ayahnya dulu. Namun keluarga tak mendukung.

Ia kemudian menikahi seorang perempuan China asal Manado. Namanya Lintje Manis. Lintje adalah perempuan sederhana yang tak banyak menuntut. Keduanya hidup bahagia. Mereka dikaruniai sepuluh orang anak. Enam anak perempuan diberi nama : Clara Lidya, Yenny, Karlina, Mei dan Mariana. Sedangkan empat anak laki-laki dinamai ; Tance, Johnny, Ronny dan Martin.

Martin “Tenggo” Benawan, putera bungsu dari sepuluh bersaudara bercerita jika papanya adalah pribadi yang tidak banyak ngomong. Kesehariaannnya di rumah dihabiskan dengan menonton televisi. Film drama jadi tontonan favorit bahkan hingga jauh malam. Kalau tidak bekerja, Om Beng menghabiskan waktunya di kebun miliknya yang luas di pinggiran Goto. “Kalo papa mau bicara atau memanggil seseorang, pasti papa lebih dulu berdehem. Kami di rumah sudah tahu kode itu” kenang Tenggo.

Om Beng juga tak pernah berbicara dengan bahasa Tidore saat berkomunikasi dengan orang rumah. Ia lebih suka menyendiri. Kadang bermain gitar ditemani anaknya Tance sambil menuliskan lirik lagu dan notasi angka. Inspirasi lagu bisa datang dari mana saja. Notasi musiknya kadang bersumber pada bunyi “tik-tik” air hujan yang jatuh menimpa atap rumah atau bunyi besi yang berdentam dari bengkel di samping rumahnya. Ia seniman yang menyatu dengan ritme alam.

Sisi lain kekuatan Om Beng dalam berkarya bersumber pada kesederhanaan hidup. Ia sosok yang sangat toleran. Jarang sekali mengumbar kemarahan. Bahkan ketika anak-anaknya memeluk Islam, Om Beng merestui dalam diam. Yaser Conoras yang menyanyikan “Sonyine Malige” mengaku terinspirasi dengan karya Om Beng. Legacy lagu ini secara universal jadi pedestal dalam membangun Tidore. “Saat ini mungkin masih ada yang menciptakan lagu berbahasa Tidore tapi mereka kalah jauh dibanding lagu ciptaan Om Beng”.

Selain menciptakan lagu, Om Beng kerap mendatangi sekolah-sekolah di Tidore untuk mengajari siswa bernyanyi dan belajar kebudayaan Tidore. Ia juga kerap diundang sebagai juri untuk berbagai lomba kesenian. Zulkifli Ohorela – seorang pejabat di kantor Walikota Tidore bercerita, bakti Om Beng untuk musik dan kesenian Tidore bahkan terus bergemuruh hingga ujung hayatnya. Malam itu, usai jadi juri di lomba kesenian merayakan Kemerdekaan Indonesia – Republik yang Ia cinta dengan segenap jiwa – di lapangan Gamtufkange, Om Beng kolaps. Jelang dinihari 17 Agustus 1992, lelaki hebat ini berpulang menghadap Sang Pencipta.

“Sekitar bulan Juli, Om Beng meminta saya menyanyikan lagu “Padosa” yang baru Ia bikin. Ia bermain gitar. Saya duduk disebelahnya. Sesekali Om Beng memperbaiki lirik dan notasi yang terdengar kurang nyaman di telinga”, cerita Zulkifli. Belakangan Zulkifli menyadari jika lagu itu semacam salam perpisahan. “Padosa” secara umum ditafsirkan sebagai sesuatu yang terpendam – yang hendak diungkapkan. Semacam penyesalan.

Gogola gogola gogola la lau
Nyinga yo cum tulu badan dadi sengsara
Marua marua no seba ino ifa
Marua marua no waje to laha ua

Ketika saya menziarahi makam Om Beng di pojokan pekuburan China, banyak orang China terheran-heran. Mereka mungkin tak percaya ada seorang muslim berpeci mendatangi makam yang sepi di bilangan Soasiu itu. Saya menyapa mereka sambil memberitahu maksud berziarah. Makam itu bagi saya adalah monument peradaban yang penting. Ia jadi penanda kehadiran seorang maestro yang karyanya abadi melampaui batas tanah dan air. Lagu-lagu berbahasa Tidore ciptaan Om Beng terus dinyanyikan hingga kini. Ironisnya, kebanyakan dari yang bernyanyi itu bahkan tak tahu siapa Om Beng.

Dalam sebuah diskusi dengan komunitas seni dan orang-orang pemerintahan di Tidore, saya menyarankan agar semua masterpiece Om Beng dikumpulkan dan didaftarkan ke otoritas yang berwenang mengurus keabsahan hak cipta. “Merawat ulang” buku lagu Om Beng yang sudah dimakan rayap. Begitu pula dengan gitar tua yang menemani Om Beng menciptakan begitu banyak lagu berbahasa Tidore jati. Ada semacam “Sonyine Malige” untuk “Maburia Sema Jojaga” warisan-warisan itu termasuk berbagai mahakarya kebudayaan Tidore. Dengan itu, Tidore akan terus mengukuhkan dirinya sebagai poros peradaban dunia.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.