Muchlis Tapi Tapi Sebuah Teropong Imajiner

  • Whatsapp

Oleh : Marlon Mochtar Basara.

Saya mencoba meneropong secara imajiner subyek satu ini, dan saya menemukan Kakanda ini sulit diringkas dan diringkus ke dalam satu kotak pengertian. Banyak orang meleset menerkanya, dan tak sedikit cacat memahaminya, bukan karena ia eksklusif menutup diri, atau enggan bersosialisasi, namun kedalaman jiwanya yang riskan dijangkau oleh sangkaan dangkal.
Muchlis punya aneka wajah, gerak yang sulit ditebak, impuls-impuls terpendam yang bersemayam dibalik alam bawah sadar. Itu semua bukan tanpa isi, ia dibangun di atas refleksi serta pengalaman panjang yang dinamis. Kadang cuma suara kesunyian yang hanya seorang dia yang dapat memahaminya.
Muchlis adalah manusia multidimensional yang melintasi keluasan cakrawala. Ia bisa tampil galak seperti Stalin, tapi juga lihai tak terbaca laksana Sun Tzu. Di saat lain, ia bisa terlihat sangat Sokratian mengusung spirit Yunani antik dalam mengobservasi misteri semesta, atau seorang Muhammad Iqbal atau Ali Syariati dalam dunia Islam yang basah akan permenungan. Saya juga melihat dirinya menyimpan kecenderungan lain: salik yang gemar memasang kuping akan ilmu rahasia tetua dalam khasanah lokal.
Ya, Muchlis bagai udara yang sulit ditangkap. Pikirannya seperti sirkuit yang tak pernah sepi dari lalulintas kontemplasi dan aksi. Ia maniak buku dan forum, teori dan wacana, negosiasi dan konfrontasi, terutama pada pergumulan ide-ide yang dapat memikat hasrat intelektualnya. Sosok ini terus menerus dahaga akan kesejatian, kebijaksanaan, arete, utopia filsafati, juga tema transendensi yang menyentuh diskursus makrifatullah, itu sebabnya ia gemar melempar tanya lalu memburunya diam-diam, secara sendiri, atau beramai-ramai.
Sekalipun background normatif beliau adalah birokrat cum politisi, namun saya melihat tanah air sejatinya adalah filsafat-spiritualisme. Ia lebih mendekati kriteria sebagai pemikir ketimbang definisi sebagai pejabat. Legalisme yang terlalu prosedural dan kaku acap kali diacuhkannya, dunia formalisme tak terlalu disukainya. Ia lebih menyukai sesuatu yang otentik dan natural tanpa terlalu perlu dibebani juklak mekanis berlebihan.
Ia tak peduli punggungnya duduk lama memintal percakapan, asalkan lawan dialektis yang diajaknya bersilang perspektif memiliki kecemerlangan teoretis-konseptual. Hati Muchlis memang telah lama tertambat pada dunia pemikiran. Ia sejatinya manusia pemikir yang menyamar dalam jubah kepangkatan.
Saya pribadi belum pernah berdialog dengan Muchlis. Saya hanya sekali dua pernah melihat beliau dari jarak jauh, dan lalu mencoba mengidentifikasi, meraba formasi subjektivitasnya. Saya cuma orang luar, pengamat yang berjarak, anak kecil yang secara usia dan pengalaman terpaut amat jauh. Dengan kata lain, pandangan saya tentangnya bersifat spekulatif, dan bukan konklusi final.
Kalau apa yang saya nyatakan mendekati kebenaran, maka itu diperantarai oleh gelombang elektromagnetik, Al-Ghazali menyebutnya kimiawi ruhani.
Karakter Muchlis tidak lahir dari ruang hampa, bukan kualitas yang tiba-tiba ada, sebagaimana doktrin filsafat percaya tidak ada sesuatu yang muncul secara creatio ex-nihilo, eksis dari ketiadaan. Muchlis adalah manusia sosial, berinteraksi, berpikir dan bertindak, dan karenanya, niscaya ia, berikut ke-dirian-nya, dibentuk oleh sejarah, lahir di dalam sejarah.
Sejarah macam apa yang membentuk kepribadian seorang Muchlis beserta derivat intelektualitasnya? Pengkondisian ruang dan waktu yang bagaimana yang mengiringi proses kedewasaannya? Saya kira, formasi intelektual Muchlis hanya bisa dijelaskan dengan melacak genealogi sosial yang spesifik dan khas yang melatari proses eksistenisinya.
Kita tahu, Muchlis muda tumbuh di mana kekuasaan rezim Orde Baru sedang mekar-mekarnya mencengkeram nyaris seluruh dimensi kehidupan masyarakat: peristiwa malari, priok, kedung ombo, pembungkaman pers dan kebebasan sipil, penerapan asas tunggal, ketergantungan modal asing, dwi fungsi ABRI, pemberlakuan kebijakan NKK-BKK, pengintimidasian Islam oposan dan varian-varian progresif lainnya. Singkat kata, pelemahan demokrasi dan hak asasi manusia.
Kondisi objektif Indonesia di bawah langit kelam Orde Baru inilah yang mengorbitkan manusia muda macam Muchlis. Dan ia tak sendiri. Generasi mereka berangkat dari keresahan zaman yang tiranik, dan karenanya, rajin menggelar kritik dan manifesto, merumuskan gagasan baru sebagai antitesa terhadap ideologi dominan negara. Fakta sosio-historis inilah yang secara simultan mengkonstruksi personalitasnya.
Variabel lain yang berperan besar adalah keaktifan Muchlis di Himpunan Mahasiswa Islam. Kita tahu, sebagaimana sejarah mewartakan, HMI era 70-90an di mana Muchlis menyejarah, adalah organisasi kemahasiswaan yang hebat dan disegani lantaran kekuatan kecendekiawannya. Dalam medio itu organisasi besutan Lafran Pane ini sangat produktif memproduksi kader-kader brilian yang terlatih berpikir dan bertindak secara visioner, sistematis, dan bernafas panjang. Tak terhitung pendekar-pendekar yang lahir di fase ini, dan telah menyebar di segala lini kebangsaan hingga saat ini. Angkatan Muchlis, saya kira, masih sempat mencicipi atmosfer seperti itu.
Saya bahkan percaya, habitus HMI lah yang berperan dominan mewarnai alam pemikiran seorang Muchlis. Saya membayangkan, kala itu, Muchlis muda amat antusias mengikuti forum-forum ideopol-stratak dan tema-tema soal keindonesiaan, kebangsaan, dan keislaman. Usianya berayun antara buku, diskusi, dan aksi massa. Jika hendak saya ungkapkan secara metaforik, sosok Muchlis adalah sintesa apik antara Cak Nur (Nurcholis Majid) dan Akbar Tanjung. Barangkali modalitas itulah yang mengantarkannya menanjak ke jenjang pengurus pusat.
Jiwa pemberontakan Muchlis, suara kemerdekaannya, sikap non komprominya atas apa yang diyakini, merupakan warna kualitatif yang sudah bersenyawa dengan denyut nadinya. Sepak terjangnya selama ini telah berbicara dengan sendirinya.
Sebelum akhirul kalam, ijinkan saya memprediksi satu hal ini: muara akhir dari pengembaraan Muchlis adalah tasawuf. Ia akan abadi mengikat diri di sana, tentu saja, setelah tugas-tugas profan telah purna.
Catatan: mohon maaf penyebutan nama bukan dimaksudkan sebagai wujud kelancangan, sekadar untuk sistematika penataan narasi (***)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.